Beberapa Kritik Mengenai Shalawat


Oleh: Aziz Anwar Fachruddin*
            Sebagai pembuka, saya ingin berpendapat bahwa fenomena shalawat yang mirip budaya populer di kalangan santri belakangan ini sebagai bagian dari aplikasi kaidah fiqh: irtikabu akhaffi-dlararain (mengambil langkah yang paling ringan madlaratnya). Maksudnya adalah, dari pada para santri remaja kita terhanyut oleh lagu-lagu pop, apalagi yang sok keminggris tetapi tidak tahu artinya itu, lebih baik melantunkan kalimat-kalimat thayyibah meskipun masih tidak bisa menghayati kandungannya.
            Mengapa demikian? Hal itu tidak terlepas dari minimal dua faktor. Pertama, para santri banyak yang tidak memahami betul hakikat shalawat ataupun tawassul kepada Nabi. Sebagian mungkin memaknainya dengan semacam “logika birokrasi”, yakni untuk bertemu presiden maka harus lewat orang dekatnya, perdana menterinya misalnya. Saya sendiri kurang sepakat dengan logika itu, namun itu tidak ingin saya bahas di sini.
            Kedua, banyak santri tidak tahu arti dari shalawat yang dilantunkannya. Besar dugaan saya, banyak yang suka shalawat hanya karena lagunya (iramanya). Adapun masalah maknanya, itu nomor sekian.
            Perlu kiranya kita bertanya: apakah orang yang berdzikir –termasuk juga melantunkan syair shalawat- namun tidak tahu maknanya akan mendapat pahala? Al-Qulyubi mengatakan: tidak! Hal ini lah yang membedakan antara dzikir biasa dengan al-Quran, karena membaca al-Quran, tanpa tahu artinya pun tetap diberi pahala (Kasyifatus-Saja, hal. 5, baris ke-14)
            Kritik Syair
            Sebagai permisalan, marilah mengulas syair shalawat yang sering kita lantunkan. Ambil contoh, misalnya: shalatun bis-salamil-mubin, linuqthatith-ta’yini ya gharami, nabiyyun kana ashlat-takwini min ‘ahdi kun fayakun ya gharami. (shalawat dan salam mubin, semoga tercurah kepada “titik penentuan”, wahai kekasihku. Inilah Nabi yang menjadi “asal penjadian”, semenjak kun fayakun terucap, wahai kekasihku)
            Mari kita tanyakan: shalawat itu memanggil siapa? Siapa “kekasih” yang dimaksud di situ? Allah atau Nabi? Kalau Allah, apakah ada nama Allah “ya gharam”?  atau kalau memanggil Nabi, mengapa redaksinya itu, -dalam pemahaman saya- adalah kalimat informatif (khabariyyah) yang sepertinya diucapkan kepada para jamaah shalawat, bukan kepada Nabi? Ataukah ada iltifat dalam redaksi itu? Lantas, apa yang dimaksud nuqthatit-ta’yini (titik penentuan) dalam shalawat itu? Hal-hal itu menjadi beberapa masalah yang idealnya harus diketahui jawabannya.
            Kedua, mengenai ashlat-takwini (asal penjadian). Saya tidak sepakat dengan komentar salah satu ustadz yang mengatakan bahwa kata ashl bermakna “awal”, yang kemudian dimaknai bahwa Nabi Muhammad (atau lebih tepatnya nur muhammad) adalah yang pertama kali diciptakan. Menurut saya, ashl bukan awal, tapi “pondasi”, atau sesuatu yang menjadi landasan (lihat dalam at-Ta’rifat karya al-Jurjani). Itu artinya, ashlat-takwini berarti Nabi merupakan “alasan” diciptakannya jagat raya ini. Kalau tidak ada Nabi Muhammad, maka jagat raya ini tidak akan ada. Dengan kata lain, alam ini, hingga surga dan neraka juga, termasuk saya dan Anda, diciptakan karena ada Nabi Muhammad.
            Secara redaksi itu memang tidak masalah. Karena memang ada hadits yang menjelaskan hal tersebut. Sayyid Muhammad al-Maliki mengetengahkan sebuah hadits: fa laula muhammad, ma khalaqtu adam, wala al-jannah, wala an-nar (Mafahim, hal. 120). Hanya saja, saya ingin mengemukakan beberapa hal yang sering mengganjal pikiran terkait hal itu.
            Dalam pemahaman saya, ungkapan terbaik mengenai “batas” dalam shalawat adalah sebagaimana dalam syair Burdah karya al-Bushiri: fa mablaghul-‘ilmi fihi annahu basyarun, wa annahu khairu khalqillahi kullihimi (batas pengetahuan tentangnya adalah bahwa Muhammad merupakan manusia, dan bahwa beliau adalah makhluk terbaik). Dalam hadits lain disebutkan: jangan memujiku sebagaimana umat Nasrani memuji Isa a.s. (Mafahim, hal. 208)
            Dari dua paradigma mendasar itu, saya ingin bertanya mengenai hal-hal berikut: apakah batas dalam memuji Nabi itu sekedar kita tidak menyatakan sebagaimana umat Nasrani mengatakan Yesus anak Tuhan? Bagaimana kalau disandingkan: antara alam raya ini diciptakan untuk Nabi Muhammad dengan Yesus disalib untuk melebur dosa-dosa umatnya? Bukankah kita diciptakan untuk menjadi hamba-Nya (adz-Dzariyat: 56), bukan untuk Nabi Muhammad (redaksi ayatnya: ma khalaqtul-jinna wal-insana illa liya’budun, bukan limuhammad)?
            Bagaimana dengan ungkapan dalam al-Quran: wama muhammadun illa rasul dan qul innama ana basyarun mitslukum yuha ilayya annama ilahukum ilahun wahid? Perlu diingat, redaksi dalam ayat al-Quran di atas memakai hashr (pembatas) berupa kata innama dan nafi-istitsna. Itu artinya, al-Quran telah memberikan batasan tersendiri perihal nubuwah Muhammad. Jadi, apa iya alam semesta ini diciptakan karena Muhammad? Kalau iya, adakah sikap implementatif dari “keyakinan” itu? Ataukah itu hanya sekedar puji-pujian?
           
            Refleksi Diri
            Sebenarnya masih ada banyak hal yang perlu kita perhatikan. Beberapa syair yang sering kita dengarkan ada yang “cenderung mengarah” pada syiah. Coba perhatikan makna kalimat-kalimat dalam syair seperti: masyariqul-amjad, ya rasullallah dalam Barzanji, bi rasulillah wal-badawi, dll. Ironisnya, kaum sunni yang biasanya menghujat syiah banyak juga yang mendendangkan itu.
            Kritik terakhir, kita perlu refleksi diri ke dalam. Karena kadang shalawat yang kita lantunkan hanya menjadi klaim sepihak. Saat mendendangkan ya waridal-unsi misalnya, apakah benar kegelisahan dalam hati kita hilang saat mengucapkan: azahta ma bi fuadi min lazhal-kadari?
            Apakah benar bahwa saat kita mengelu-elukan Nabi sebagai kekasih dengan memanggil ya habib, kita benar-benar mencintai Nabi? Jangan-jangan perilaku kita sendiri masih jauh dari sunnah Nabi. Kita jarang atau justru malas membaca hadits-hadits Nabi misalnya. Atau bahkan, kita tidak tahu sejarah Nabi Muhammad yang kita panggil kekasih itu. Kadang, dari pada Nabi Muhammad sendiri, banyak yang lebih tahu tentang Luna Maya, Ariel Peterpan, ST 12, Ungu, Justin Bieber, Blink 182, Avenged Sevenfold, atau band-band pujaan remaja umumya. Semoga saja itu hanya persangkaan, bukan senyatanya memang demikian. Wallahu A’lam.
*Santri biasa, tidak perlu dianggap istimewa.


comment 2 komentar:

Anonim mengatakan...

askum..
mohon maaf yg nulis ini azis anwar fachrudin lulusan smp n 9 yk & sma n 8 yk bukan y?
klo iya,sy minta nomer hp anda..
dikirim lwt email fiantastic08@gmail.com

terimaksih

sahabat lama
(Alfian Tyas K)

Anonim mengatakan...

sudah dibales lewat email Anda.
terima kasih.

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger