OPINI


Teruslah Belajar ! *


Dalam menjalani hubungan asmara, -mungkin- banyak dari kita yang bisa dengan mudah berkata “jangan hanya menuntut, tapi berusahalah untuk tulus dalam memberi”. Pasangan –termasuk suami istri tentunya- yang sangat kuat mempertahankan ego masing-masing akan sulit untuk bertahan lama. Sebaliknya, ketika pasangan tersebut bisa saling memahami perbedaan yang ada, dan saling meredam emosi, maka hubungan mereka akan bertahan sangat lama, bahkan langgeng meski dihantam berbagai konflik. Hanya saja, logika itu nampaknya belum mudah untuk diterapkan oleh kita dalam kehidupan ke-pesantren-an, sebagai contoh –yang sering disorot- antara santri dengan pengurus dan sebaliknya.  

Sebagai santri, seringkali kita lebih mengedepankan hak-hak yang bisa didapatkan, menuntut keadilan dan fasilitas memuaskan. Mendapati celah lemahnya pengurus, tanggapan kita “pengurusnya aja kayak gitu, jadi jangan salahkan bila kami begini”. Hidup di pesantren bagai hidup di penjara. “Banyak peraturan, ga bebas berekspresi. Mau pulang ke rumah aja, izinnya dipersulit. Diniyah dan kajian kitab serasa penjara, metodenya tidak interaktif, membosankan dan bikin ngantuk. Ikut kajian ataupun tidak, ga jauh beda, tak banyak yang didapat. Kegiatan malam jum’at juga ga bermutu. Ndengerin orang yang baru belajar berpidato, blepotan di sana-sini. Sholawatan sekedar tradisi, ga dimengerti maknanya. Mujahadah dalam kegelapan, malah banyak yang tidur beneran. Kalau seperti ini, mending mbolos, belajar sendiri, bebas semau gue. Mending juga tidur saja, refreshing, jalan-jalan ke luar atau main game, biar ga penat terus-terusan”.
Yang jadi pengurus pun mengelus dada, “Santri sekarang sulit diatur. Sedikit sekali yang sadar, ikhlas apalagi bersemangat mengikuti kegiatan. Adanya “santri bel-belan dan oprak-oprakan”. Tidakkah mereka tahu, aku sudah begini, aku sudah begitu. Banyak pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran yang telah kukeluarkan untuk mengurus dan membimbing mereka baik melalui semua kegiatan yang kami adakan atau di luar itu. Harusnya aku bisa lebih berkembang di luar sana, lebih cepat untuk menggapai impian. Sebagaimana teman-temanku di luar, mereka cepat lulus S1, S2, dapat kerja mapan dan juga menikah. Sementara aku, demi menjadi pengurus di sini, aku harus menyusun ulang target-target itu dan mau ga mau harus mundur waktunya. Tapi apa balasannya ? Mereka seakan tidak menghargai pengorbanan pengurus. Dikandani ga boleh begini, ga boleh begitu, sama sekali ga nggugu, dioprakki malah nyengiti, diwulang tenanan malah enak-enak tiduran. Kalau seperti ini, mendingan aku segera pamit boyong saja secepatnya atau maksimal tahun depan !”

Demikianlah gambaran ekstrim pergolakan batin kita. Baik sebagai santri maupun pengurus, baik terucap dalam kata-kata sesungguhnya atau minimal ungkapan senada muncul dalam kelakar yang sejatinya menunjukkan bahwa pikiran-pikiran seperti itu sempat terlintas juga.
Harus diakui bahwa saat ini hubungan antara pengurus dan santri belumlah harmonis, komunikasi antara pengurus dengan santri belumlah terbuka. Masih banyak yang umpet-umpetan. Santri takut (atau lebih tepatnya enggan berkonflik) di depan pengurus, tapi menggerutu di belakang. Pengurus pun terkesan ngecing santri yang bandel dan pernah berkasus. Ekstrimnya meski satu atap, ada yang tidak saling menyapa dalam waktu yang sangat lama, salah satunya karena kasus di masa lalu.
Yah, hal ini mungkin karena santri dan pengurus bukanlah (baca : belumlah menjadi) sepasang kekasih yang ketika ada sedikit konflik, makan menjadi tidak enak, tidur tidak nyenyak. Belumlah menjadi sepasang kekasih yang sehari saja tidak ada sapaan, serasa ada yang kurang. Tekad untuk saling memahami, menghargai, memaafkan dan melakukan yang terbaik belumlah muncul. Keikhlasan dalam menjalani peran –sebagai santri maupun pengurus- menjadi teori yang ringan diucapkan namun berat diterapkan.
Tapi, bukankah santri dan pengurus adalah saudara sesama muslim? Hubungan saudara yang rasa cinta dan kasih sayang di antara mereka diumpamakan oleh Rasul bagai satu tubuh, jika satu bagian terasa sakit, anggota tubuh yang lain pun ikut merasakan imbasnya yakni adanya demam dan tidak bisa tidur di malam hari. Ah, pengurus dan santri hanyalah manusia biasa, bukan Muhammad Rasulullah yang menjelang wafat saja menyebut “ummatku, ummatku”, bukan para istrinya, ini  sebagai bukti kecintaan beliau kepada umatnya.
Bagaimanapun kondisinya saat ini, semoga baik santri maupun pengurus bisa sama-sama untuk terus belajar, belajar untuk saling memahami bahkan mencintai, belajar untuk memberikan yang terbaik dan penuh keikhlasan dalam menjalani peran masing-masing. Ini salah satu modal untuk menguatkan bangunan psikologis institusi pondok pesantren kita. Wallahu A’lam
*Oleh : “Wong mlarat, butuh kawelasan”

comment 3 komentar:

kang santri on 22 Januari 2011 pukul 12.11 mengatakan...

betul betul......

baik pengurus ataupun santri,,,seyogyanya latihan legowo...., podo saling gerti..., dimana posisi masing-masing dan menyadari sepenuhnya...

meskipun diakui...melaksanakan semua peraturan pondok memang tidak mudah, sangat berat......
semoga saja kedepan kita sama-sama terus berbenah deh.....,

menuju semangat ukhuwah islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai islam.....yang penuh rahmad....

mbak santri mengatakan...

Ya sepakat Kang... Dengan begitu, sya'ir ma'hadunaa tidak hanya enak dilantunkan dan didengar, tapi isinya menjadi kenyataan...
Ma'hadunA Nurul Ummah...
HAdzA baitunA wal jannah...

haris amin mengatakan...

ya, setuju, harus saling mengasihi dan menyayangi..

mari bercinta....

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger