Welcome Santri BAru

    * Oleh M Fadhil
 
    Manusia lahir dengan insting lemah dan kepekaan sosial yang kurang matang. Dia belum bisa melakukan komunikasi, interaksi atau berbudaya dengan manusia lain. Juga belum mampu mencurahkan keinginan, pemikiran dan gagasan pada lingkungan di luar dirinya hingga lingkungan tersebut memahami apa yang menjadi keinginannya. “ menangis” yang kita pahami adalah satu-satunya tanda akan keinginan bayi terhadap keadaan tertentu. Lingkungan dalam hal ini belum bisa memberikan, menciptakan dunia baginya.  

    Berbeda dengan binatang yang dilahirkan dengan organisme yang sudah lengkap. Binatang hidup dalam suatu dunia yang lebih kurang sudah ditentukan sepenuhnya oleh struktur instinktualnya. Dunia tertutup sepenuhnya oleh kemungkinan-kemungkinan karena telah terprogram oleh sifat kebinatangan. Oleh karenanya kita mengenal dunia tikus, anjing, burung dan yang lainya, sedangkan manusia tidak mengenal hal yang demikian. Dengan kata lain binatang telah mendapatkan dunianya secara biologis ketika awal mula dilahirkan.

    Pemenuhan dunia manusia sendiri dibangun oleh sifat dasar mereka yakni pola-pola sosial yang diawali dengan komunikasi dan interaksi. Atas dasar itu manusia sejatinya adalah makhluk sosial, bahkan sejak awal mula lahir. Kekurangan yang ada pada waktu lahir adalah fase awal dari proses pematangan menjadi makhluk sosial seutuhnya. Hal ini dapat dicapai ketika individu mencurahkan dirinya ke dalam masyarakat (eksternalisasi) serta meresapi makna yang ada dari masyarakat tersebut (internalisasi). Kedua pokok ini yang menjadi jalan seseorang menemukan dunianya dan hidup di dalam dunia itu.

    Mengikuti logika di atas tadi, datangnya santri baru di tengah-tengah kita adalah fenomena yang menarik untuk dikaji. Sejak awal santri baru tidak mengenal arena budaya pesantren, yang dalam hal ini adalah Nurul Ummah. Masih tersimpan dalam benaknya sebuah pertanyaan besar, apa itu pesantren?. Beberapa pertanyaan lain segera muncul, mengapa tirakat? Kenapa tidak boleh merokok? Tidak boleh membawa handphone? Atau pergi ke warung internet (warnet)? Dan keluar izin diizinkan bila telah melalui izin dari pengurus?. Jelas pertanyaan ini sangatlah penting mengingat struktur kebudayaan di rumah telah membentuk masing-masing individu dengan hal yang berbeda dan bertolakbelakang dari yang mereka hadapi sekarang.  

    Secara praktis, diakui atau tidaknya seseorang sebagai bagian dari kebudayaan tertentu bukan  diukur dari semakin banyaknya jumlah anggota suatu budaya karena dia telah masuk ke dalamnya. Sedikitnya, menurut E.B Taylor, nilai dan makna dari kebudayaan itu haruslah menjadi penghayatan dalam diri individu. Oleh karena itu seorang santri baru yang mendapatkan status “kesantrian” dan diakui hak atas dirinya untuk menikmati fasilitas pesantren, membaca buku-buku dan kitab di perpustakaan ndalem, belajar diniyah hanya dapat dibenarkan secara administratif. Wujud “kesantrian” sebenarnya adalah peresapan nilai dan makna melalui tarik-ulur proses internalisasi-eksternalisasi. Dengan bahasa yang lain, belumlah dianggap sebagai santri seutuhnya jika syarat di atas belum terpenuhi.

    Seorang anak yang dulu mungkin telah merasakan hidup di pesantren yang berbeda dalam prakteknya belum tentu krasan hidup di Nurul Ummah. Sebab kebudayaan masing-masing pesantren sedikit banyak berbeda. Yang menentukan krasan tidaknya seorang santri di Nurul Ummah adalah proses internalisasi-eksternalisasi dalam membangun dunia yang menjamin mereka tetap berada di  Nurul Ummah.

    Dia layaknya bayi yang belum mengerti ini dan itu. Realitas sosial belum bisa memberikan dunia pada dirinya. Satu-satunya cara untuk membuat dunianya adalah dengan melakukan pencurahan diri pada realitas sosial yang terpampang di luar dirinya (eksternalisasi), memahami sikap budaya betapapun diri tidak suka dengan hal itu. Pengorbanan tentunya sangat dibutuhkan dalam proses pencurahan. Dengan seperti ini, kedatangan dia sebagai santri baru menjadi penerus bahkan pelengkap dari konstruksi budaya serta mengawal perjalanan budaya tersebut.

 Demikian santri baru digojloki karena proses internalisasi-eksternalisasi yang belum matang yang mengakibatkan seorang santri tidak krasan. Pada saatnya dia akan balik meng-gojloki karena kedua proses itu telah dijalankan dengan baik. Akibat yang bisa diperkirakan adalah krasan bahkan menganggap pesantren sebagai rumah yang tidak bisa ditinggalkanya.

Untuk itu selamat kepada santri baru. Selamat datang di nurul ummah. Semoga mampu meresapi kebudayaan pesantren dan mencurahkan bentuk-bentuk pemikiran dan gagasan yang cerdas demi kepentingan bersama.

*alumni MANU(Madrasah Aliyah Nurul Ummah)
(Madrasah Aliyah Nurul Ummah)
Penulis adalah alumni MANU
(Madrasah Aliyah Nurul Ummah)

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger