Featured

. Selamat datang di Koran Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta.... Saran dan Kritik Sms ke 081 915 10 9090 .... UKS di Pondok Pesantren Nurul Ummah... Visit   »   NURUL UMMAH - YUSUF MUFTI

1 Tentang Rasa

Oleh : Hikmatul Fitriyah*

Yank, lagi ngapain?”, “kangen.., ma yayank…” Harus diakui, pesan singkat semacam ini atau panggilan yang lebih romantis nampaknya sudah tidak terlampau asing bin aneh lagi terbaca di banyak ponsel para santri (baca : kalangan pesantren).

Perkembangan teknologi mampu menembus ruang dan waktu. Bagi manusia yang memang fitrahnya memiliki rasa suka terhadap lawan jenisnya, teknologi komunikasi mampu dengan cepat menyampaikan perasaan seseorang terhadap pujaan hatinya. Dimulai dari sekedar say hello, perkenalan, obrolan, keakraban, sampai muncul ikatan rasa di antara keduanya. Kode etik pesantren yang melarang pertemuan disengaja atas nama perasaan alias janjian, membuat komunikasi secara tidak langsung melalui HP, email, chatting, facebook, twitter dan sejenisnya begitu berarti bagi kebanyakan kita yang santri ini. Demikianlah, hari terasa hampa jika tak ada sapaan dari si dia. Sms, telfon, updating status dan sebagainya, semua tertuju padanya. Perhatian dan aura kemesraan yang melingkupi bahasa komunikasi membuat perasaan di hati semakin tertanam. Sms-an atau telfon-telfonan berjam-jam, masih saja terasa kurang. Bahkan sampai -nuwun sewu, lupa, ada maupun tidak ada orang lain yang ada di sekitar kita, sama saja, ibarat dunia hanya milik berdua. Ungkapan rasa dalam bahasa penuh mesra saat ini nampaknya memang dianggap “penting” bagi banyak orang yang belum menikah ; laki-laki maupun perempuan, santri maupun bukan santri, pelajar maupun mahasiswa, yang masih muda maupun yang sudah melewati usia muda. “Ga romantis? ga asyik banget deh...”, demikian kira-kira adanya.

Beberapa waktu lalu, ada pesan singkat yang masuk ke HP saya, isinya tentang keprihatinan menyoroti sisi interaksi antara lawan jenis di lingkungan Nurul Ummah, yang telah melenceng dari batasan-batasan syariat – paling tidak dalam pandangan pengirim pesan-, yang beberapa kasusnya saya utarakan di depan. Saya tidak ingin fokus pada pembahasan mengenai status hukum syar’i dari aktivitas PDKT, pacaran dan sejenisnya lewat media-media itu di sini, karena bukan kapasitas saya yang masih banyak terinfeksi penyakit nifaq ini, masih banyak yang lebih mumpuni, ‘alim dan wira’i untuk membahasnya. Menurut zhann kuat saya, hati kecil kita bisa merasakan, mana perkara-perkara yang -nuwun sewu- marakke nyahwati. Hanya refleksi, introspeksi dan mencari sebuah paradigma yang menentramkan, demikian kira-kira maskud saya. Tidak ingin nggebyah uyah alias generalisasi, sekiranya tulisan ini mengusik hati dan pikiran teman-teman santri, silakan ditanggapi, lewat media ini kelihatannya jauh lebih baik, agar khalayak umum bisa juga mengkonsumsi.

Ada dua hal yang muncul dalam benak saya saat ngangen-angen fenomena ini. Pertama, tentang aspek kultural. Tradisi Nurul Ummah secara formal dalam pandangan saya yang masih tergolong santri junior ini, sebenarnya memiliki semangat untuk menjaga jarak antar lawan jenis. Dalam forum-forum dialog bareng aja, santri putri dipandang “haram” bila urun pendapat secara langsung, “harus” lewat tulisan. Majelis khatmil qur’an yang menampakkan secara langsung khatimat di arena panggung utama -seperti yang terlaksana pada Juli lalu- pun menjadi bahan omongan, karena nulayani adate Nurul Ummah selama ini. Namun, pada faktanya, lain di forum formal, lain di kamar, lain di jalan, lain pula di kampus dan sekolah. Komunikasi intens dan penuh rasa dengan lawan jenis, bisa dilakukan lewat banyak media. Dan, mungkin beberapa dari kita sudah tidak begitu rikuh lagi bila kontak rasa itu diketahui, dilihat dan didengar oleh orang-orang di sekitar kita. Dari sini, saya pribadi menangkap adanya kontradiksi –dalam kadar seminimal apapun- antara semangat yang terbawa dalam forum formal pesantren dengan sisi kehidupan santri yang lebih luas.

Kedua, mengenai aspek legal formal. Sebagai santri yang pernah terjun langsung dalam dunia keamanan pondok, saya belum menemukan aturan baku mengenai batasan-batasan kontak rasa via media komunikasi. Paling tidak, menurut saya, ini menjadi salah satu faktor yang membuat kita merasa memiliki banyak celah interaksi. “ga boleh janjian berdua, tapi nek telpon-telponan lama, ngobrol kemana-mana –dengan bahasa mesra pun-, tak masalah, bukan? Wong ga bakal ditakzir to?”.

Minimal dua hal itu yang terfikir oleh saya. Tidak menjadi problem bila tulisan ini membuat teman-teman memandang saya terlalu saklek alias kaku, kolot, fundamentalis, ekstrimis dan diberi label “ga gaul banget, kaya’ ga pernah muda aja sih, orang ini!” Mungkin muncul apologi defensif pula, semisal ”Jadi penyemangat belajar dan ibadah kok, si dia tuch..”. Yach, kembali, saya hanya bermaksud memaparkan beberapa fakta yang ada di tengah-tengah kita. Tidak menutup kemungkinan, di masa lalu ataupun suatu saat nanti, saya bahkan tidak jauh keadaannya dari fakta yang demikian, karena dalam hidup ini, sangat mungkin terjadi perputaran. 

Saya serahkan pada pembaca, apakah fenomena ini merupakan suatu kewajaran yang tak perlu dirisaukan, karena menjadi bagian dari modernisasi, bahkan banyak sisi positifnya? Atau sebaliknya, memang dirasa menjadi “sedikit” masalah bagi kestabilan dan nasib Nurma di masa depan, lantas bagaimana cara menyikapinya dengan bijak? Kira-kira, kegiatan produktif apa yang perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya di lingkungan Nurma, hingga mampu memberikan antusiasme yang tinggi, menyamai bahkan melebihi semangat saat dzikiran bil-HP alias sms-an dengan si dia? Sempat terfikir pula dalam benak saya, perlukah diadakan forum yang membahas kode etik ala Nurma mengenai pelaksanaan ta’aruf atau perkenalan menuju jenjang pernikahan, karena di tengah-tengah kita, masih ada sosok-sosok yang telah menikah dan berhati-hati untuk masalah ini?

Wusana kalam, perasaan yang membuncah terhadap sang pujaan hati mungkin memang sangat sulit dihilangkan. Setiap kali namanya tersebut dalam gosip yang telah membudaya di sudut-sudut kamar, membuat si dia makin tak terlupa. Namun demikian, harapan pribadi saya, paparan yang apa adanya ini bisa menjadi pertimbangan bagi semua santri maupun pengurus, dalam kapasitasnya masing-masing, demi masa depan Nurma kita. Jika demikian adanya, perlu kita bertanya, apakah kita tetap mau maju menyalurkan rasa, dengan cara bagaimana, mengingat kita adalah santri? Ataukah ada pertimbangan tertentu, sehingga kita justru memilih untuk mundur secara teratur dan perlahan? Karena, Life is choise! Hidup adalah pilihan, Kawan! Wallahu A’lam
*Penulis, santri PP Nurul Ummah Putri

Read more

0 Membuat Cerita Pendek.



Pada umumnya, orang beranggapan bahwa membuat cerita pendek cukup dengan duduk merenung dan menunggu datangnya sebuah inspirasi atau ide. Pendapat ini, tentu saja, tidak benar. Membuat cerita pendek, sebagaimana halnya menciptakan sebuah lukisan atau melakukan pentas drama, memerlukan pengetahuan dan ketekunan tersendiri.
Pengetahuan dasar inilah yang akan diperkenalkan dan sekaligus diterapkan penggunaannya.
1. Cerita
Cerita lahir dari sebuah persoalan/permasalahan/konflik. Tanpa persoalan/ konflik, tak akan pernah terjadi sebuah cerita. Bagaimana menciptakan konflik?
Di dalam menciptakan konflik, kita bisa meminjam teknik “brainstorming”. Teknik ini biasanya digunakan oleh para praktisi periklanan dalam menggali ide. Caranya, antara lain dengan “bermain dengan kata”.
Contoh. Apabila kita mendengar kata “mencintai”, apa yang segera terbayang di benak kita. Begitu pula apabila kita mendengar kata ”benci”, “muak”, “kangen” dan seterusnya. Semua gambaran yang ada dari setiap kata yang kita dengar, kita tuliskan.
Teknik ini sangat bermanfaat untuk melatih kepekaan calon penulis di dalam “mencerap” segala sesuatu yang ada di sekelilingnya; tidak hanya kata atau bunyi-bunyian.
Langkah selanjutnya dari teknik brainstorming ini adalah dengan mempertentangkan sebuah ungkapan, kalimat, atau apa saja yang sudah terbiasa kita temui, dengan ungkapan, kalimat atau apa saja yang memiliki perbedaan makna sebesar 180 derajat. Misalnya: “aku cinta padanya”, dipertentangkan dengan “aku benci dia.”
Pertentangan ini akan menimbulkan gambaran yang berbeda di benak si calon penulis dan karenanya akan merangsang imajinasinya untuk bekerja lebih giat lagi.
Teknik ini bisa juga dikembangkan dengan menggunakan pertanyaan, atau pengandaian yang tidak atau kurang lazim. Misalnya: “apa yang akan kamu lakukan bila kepalamu ada dua.” Atau, bisa juga dengan ungkapan “seandainya aku tidak bia mati,” dsb.
Kalimat atau pernyataan serta pengandaian yang tidak lazim ini memang dibuat sedemikian rupa aneh dan konyolnya, semata-mata dimaksudkan agar pikiran kita lebih terbuka. Terkadang, pikiran kita yang sudah terkungkung oleh pengetahuan dan bacaan ilmiah, menjadi “pembantai” utama ide-ide/ pemikiran yang irasional milik kita sendiri. Dan sering kali pula, ketika kita akan menuliskan sesuatu, otak kita sudah menjadi “algojo” yang memangkas habis ide yang kita anggap konyol dan tak masuk akal itu. Dengan mencoba mempertanyakan sesuatu yang tampaknya irasional dan tidak masuk akal tersebut, otak kita akan “dipaksa” untuk mencari jawaban dari sebuah lembah antah berantah. Dari sinilah ide-ide itu akan bermunculan dengan suburnya.
Inilah yang sebenarnya harus dikembangkan dan dibiasakan penggunaannya, agar kita dengan “mudah” menemukan ide. Tentu saja, di samping teknik ini, seorang calon penulis cerita harus juga dibekali bacaan yang sangat banyak. Dengan bacaannya, ditambah “kenakalan” penalarannya yang seakan tanpa batas itu, diharapkan ada semacam “sintesa”. Inilah pijakan awal seorang penulis. Apabila ini dikembangkan lagi, pijakan awal ini bisa merupakan sebuah “visi” seorang pengarang.
2. Deskripsi
Tak satu pun penulis yang bisa melewatkan deskripsi. Deskripsi merupakan cara jitu di dalam “melukiskan” ide si pengarang ke dalam benak pembacanya. Deskripsi memiliki tahapan tertentu. Pada mulanya, seorang penulis bisa saja menggambarkan ruang, seseorang, atau suasana dengan menuliskan apa yang di-inderanya tanpa melibatkan emosinya sama sekali. Dia bisa menuliskan ada sebuah meja tua terbuat dari kayu mahoni yang kira-kira berumur 200 tahun. Warnanya hitam. Berukuran sekian, kali sekian, kali sekian.
Akan tetapi, seorang penulis yang sudah lebih berpengalaman akan bisa melukiskan meja antik tersebut dengan menggunakan pengetahuan emosinalnya. Dia bisa menggunakan perbandingan dengan ukiran Jepara yang terkenal, sebagaimana penjelasan Kartini kepada Ny. Abendanon tentang kotak kecil buatan seorang tukang kayu Jepara, misalnya. Dengan deskripsi semacam ini, seorang pembaca tidak hanya disuguhi sosok fisik yang dideskripsikan seorang penulis, akan tetapi sekaligus diceburkan ke dalam lautan persoalan yang terdapat di dalam sebuah meja antik tersebut. Pembaca akan diperkaya, dan dengan demikian diharapkan akan memiliki persepsi yang lebih baik.
Deskripsi tidak hanya ditampilkan dalam bentuk uraian narasi, tetapi juga bisa muncul dalam bentuk dialog atau pembicaraan tokoh dengan tokoh lainnya. Lewat dialog para tokohnya, kita bisa memahami atau mendapatkan gambaran apa, siapa, dan bagaimana, baik si tokoh, lawan bicaranya atau situasi yang melatari sebuah peristiwa tersebut. Karenanya, sebuah dialog, hendaknya merupakan hal yang patut diperhatikan dengan lebih cermat; pilihan kata, kelazimannya dan sebagainya, hendaknya masuk dalam pertimbangan seorang penulis.
3. Bahasa
Cerpen adalah sebuah ekspresi personal. Cerpen adalah sebuah cerita dan karenanya berbeda dari berita. Karena cerpen adalah sebuah ekspresi personal, maka bahasa yang digunakan hendaknya sesuatu yang memang personal, unik, kaya akan dialek dan idiolek. Dengan sendirinya, sebuah cerpen yang menggunakan bahasa “bombastis” atau ungkapan-ungkapan yang berbau slogan, akan terasa janggal atau bisa dikatakan gagal sebagai sebuah cerita. Sebaliknya, cerpen yang sarat akan ungkapan-ungkapan yang “membumi” atau akrab dengan pembacanya, terasa lebih hidup, bernafas dan berdarah-daging bagi pembacanya.
Selain itu, cerpen sangat membutuhkan bahasa yang konotatif. Dengan bahasa, ungkapan, yang konotatif sebuah cerita akan bisa memberi ruang penafsiran yang cukup bagi pembacanya. Di sinilah sebenarnya kekuatan sebuah fiksi. Dengan bahasa yang konotatif, pembaca akan dibawa ke suatu wilayah “serba mungkin” dan akan terangsang untuk terus memberikan penafsiran-penafsiran.
4. Penyajian
Sebuah cerita, bisa saja disajikan secara berurutan, sejak awalan, tengahan dan akhiran. Akan tetapi, bisa juga menggunakan teknik yang dinamakan in medias res. Teknik ini biasanya digunakan untuk “mengikat” si pembaca agar mengikuti cerita sampai habis, dengan cara “memasukkan” pembaca ke tengah persoalan, justru ketika dia mulai membaca sebuah cerita.
Teknik penyajian bisa juga menggunakan pilihan sudut pandang, baik “aku-an” maupun “dia-an”. Sebuah bahan cerita yang sama, apabila diungkapkan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda akan memiliki kesan yang berbeda. Pilihan ini, sepenuhnya harus dipertimbangkan oleh seorang penulis, manakala dia ingin mengungkapkan karyanya.
5. Acuan
Banyak yang menyangka bahwa hanya tulisan ilmiah atau non-fiksi sajalah yang membutuhkan acuan. Pendapat ini kurang tepat. Semua tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi, memerlukan acuan.
Seorang penulis cerpen yang baik, akan selalu mencari sumber-sumber yang bisa digunakan sebagai bahan ceritanya. Apabila dia hendak menuliskan kisah sejarah, maka dia wajib mencari tahu semua hal yang berkaitan dengan tulisannya. Apabila hendak melukiskan suatu etnis tertentu, maka dia pun perlu mencari tahu berbagai informasi penting yang berkaitan dengan etnis tersebut. Dengan sumber yang kuat, cerpen yang ditulis oleh si pengarang tersebut akan terasa memiliki “nilai lebih” karena dia bisa dengan lebih luwes dalam mengekspresikan tulisannya. Semakin banyak sumber yang diperolehnya, semakian kuat pula cerita yang diciptakannya. Namun, perlu diingat bahwa sebuah cerpen bukan pertama-tama dan terutama dinilai dari fakta yang disajikannya. Bagaimana imajinasi dan persepsi pengarang akan fakta itulah titik tumpuannya. Itulah yang membedakan, misalnya, antara Ahmad Tohari dengan Edy D. Iskandar, atau NH Dini dengan La Rose; tulisan yang satu terasa lebih “berakar” daripada yang lainnya.
Perlu ditambahkan di sini bahwa ada beberapa teknik yang menggunakan acuan–baik sejarah, tokoh legendaris, kebudayaan etnis tertentu–yang biasanya digunakan oleh seorang pengarang. Teknik tersebut–di antaranya, adalah: alusi dan anakronisme.
Alusi adalah teknik penokohan yang meminjam sifat, sosok, perilaku dari tokoh lain yang telah diketahui oleh masyarakat luas (meskipun “luas” di sini hanya melingkupi kelompok/ etnis tertentu). Misalnya, Parijan merasa dirinya adalah Bratasena dalam Bale Segala-gala. Di sini, Parijan dibandingkan atau disetarakan dengan tokoh pewayangan Bratasena, yang dalam cerita Bale Segala-gala diceritakan melompati kurungan api sambil menggendong keempat saudaranya.
Teknik alusi bisa lebih efektif di dalam penokohan atau pelukisan situasi, latar dan peristiwa. Meskipun teknik ini memiliki kelemahan, karena tidak setiap orang bisa segera memahami sesuatu yang diacu di dalam tulisan tersebut, seorang pengarang sebaiknya melatih diri dalam menggunakannya.
Anakronisme biasanya digunakan untuk menampilkan satu tokoh, seolah-olah tokoh tersebut sezaman dengan tokoh yang diacunya. Misalnya, di dalam Hikayat Hangtuah, disebutkan dia bertemu dan berperang melawan Patih Gajah Mada. Berdasarkan sejarah, antara Gajah Mada dan Hangtuah hidup di abad yang berbeda. Akan tetapi, untuk menghidupkan dan memberikan kesan betapa hebatnya Hang Tuah, si penulis mengaitkannya dengan tokoh Gajah Mada; yang sudah terkenal kehebatannya.
Penutup.
Demikianlah pengantar ringkas pembuatan cerita ini saya berikan. Semoga, apa yang tertulis di sini bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana dan langkah apa yang harus ditempuh oleh seorang pengarang cerita pendek. Tentu saja, ini bukanlah satu-satunya cara. Masih beragam cara dilakukan orang di dalam mencipta.
Yang terpenting, janganlah menganggap tulisan ini sebagai “rumus”. Ini hanya catatan kecil penulis yang dikumpulkannya sesuai dengan pengalamannya semata.
Selamat memulai menulis.
referensi : Yanusa Nugroho

Read more

1 Buber Ala Kru Tilawah


Kamis, (04/08) bertepatan pada tanggal 4 Ramadhan 1432 H, segenap anggota Majalah Pesantren Tilawah mengadakan buka puasa bersama (buber) di Masjid Al Faruq lantai 2. Acara yang merupakan program rutin tahunan ini, diikuti oleh 30 orang yang terdiri dari anggota tilawah serta  para sesepuh yang telah  berjasa dalam perkembangan MP. Tilawah.  
Acara ini dimulai pada pukul 17.00 WIB, dan  dibuka langsung oleh pimpinan umum MP.Tilawah, Yusuf Mufty. Kemudian  dilanjutkan dengan tahlil dan do'a bersama yang dipimpin oleh Bapak Anton Prasetyo. 
 Dalam rangkaian acara tersebut diadakan pula pembagian kartu pers oleh PU MP. Tilawah kepada segenap crew  MP. Tilawah. Acara ini berakhir pada pukul 18.25 WIB.
Buber ini digelar dengan harapan dapat menambah kesolidan antar crew tilawah sehingga majalah pesantren tilawah bisa semakin maju dengan adanya kerjasama yang baik tersebut. (RZ)
Read more

0 Ramadhan Naik Turun Gunung

Pengabdian para santri putra kelas II ulya MDNU (Madrasah Diniyyah Nurul Ummah) dibuktikan dengan diadakannya PKR (Pesantren Kilat Ramadhan) yang bertempat di Gunungkidul selama 20 hari. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara beberapa pihak, yaitu LP2M, MDNU, dan Pondok, ungkap Bpk. Mustamid selaku ketua panitia PKR XVII, saat ditemui crew tilawah di kamar C1 yang akan menjadi bekas kamarnya.

LP2M merupakan salah satu lembaga milik ponpes Nurul Ummah yang memang bergerak dibidang  pembinaan juga pengabdian pada masyarakat, sedangkan MDNU dengan kurikulumnya juga mempunyai kegiatan yang sejalan dengan LP2M bagi kelas I ulya yang naik kelas II ulya, sehingga kedua lembaga ini saling bekerjasama dengan misi yang sama. Intinya ada sebuah mutualisme bagi para santri putra, tambah Bpk. Mustamid.

Kegiatan ini diikuti oleh 11 orang peserta, dengan 11 posko yang setiap poskonya ditempati oleh satu orang utusan. Semua posko berlokasi disetiap masjid masjid sekitar daerah Ngalang dan Nglegi. Rangkaian kegiatan PKR ini dimulai dengan pembekalan peserta yang bertempat di Komplek B asrama mahasiswa pada hari Kamis,(28/07). Kemudian pembukaan dan penyerahan peserta PKR yang dilaksanakan pada hari Minggu (31/07) di masjid Alhuda , Nglegi Gunungkidul. Pada pembukaan PKR ini dihadiri oleh para pejabat perangkat desa, pejabat kesra, dan seluruh perwakilan pengurus takmir yang bersangkutan.

Abdullah Ridho (20), salah satu panitia yang meninjau ke lokasi PKR kemarin mengatakan bahwa semua peserta menjalankan tugasnya dengan baik, seperti mengajar TPA, Imam Sholat Tarawih, Kultum, dan Tadarus bersama masyarakat. Walaupun pada pelaksanaannya sangat berfariatif, tergantung agenda dan jadwal yang ditetapkan oleh takmir masjid setempat. Keluhan para peserta dan tingkat kesukaran menghadapi masyarakat setempat pun berfariatif, karena beragamnya latar belakang masyarakat yang dihadapi oleh peserta.

Hal senada juga diungkapkan oleh Bpk. Mustamid, bahwa tugas dari peserta PKR ini terbagi menjadi dua, pertama tugas wajib Individu bagi setiap peserta yaitu tergantung agenda dan jadwal masjid setempat, kedua tugas wajib kolektif yaitu kepanitiaan yang dibentuk oleh peserta PKR itu sendiri dimana ketuanya adalah Frengki, salah satu peserta PKR. Agenda utama tugas wajib kolektif ini yaitu mengadakan FAS (Festifal Anak Sekolah) bertempat di Gunungkidul yang bekerjasama dengan LP2M, sedangkan waktunya belum ditentukan, karena saya sendiri juga belum sempat meninjau langsung ke lokasi PKR, tegas Bpk. Mustamid ketika mengakhiri pembicaraannya dengan salah satu crew tilawah.
(kfc/red)
Read more

0 SAFAR (Bepergian) Ditinjau dari Perspektif Imam Ghazali

  Dalam Karya Agungnya Ihya'Ulumuddin

Sebagai seorang manusia yang hidup di dunia, kita tidak mungkin akan selamanya terkungkung dalam satu tempat yang kita huni. Kita akan selalu mencari tempat yang aman dan lebih nyaman bagi diri kita dengan berbagai macam alasan dan berbagai macam tujuan pula. Maka dari itu kita sering melakukan Safar (perjalanan), baik perjalanan panjang maupun perjalanan pendek, ataupun migrasi ke daerah lain. Namun seringkali kita lalai ataupun melupakan diri, bahwa hakikat dari perjalanan kita itu untuk apa? Niyat kita melakukan safar itu untuk apa? Karena “Niyyatul Mu'min Khoirun Min 'Amalin”, jadi memang tujuan itu penting. Yang paling sederhana yaitu keberadaan kita di Ponpes Nurul Ummah, sudahkah kita menata niat dan tujuan kita dengan baik?

Dalam kiab Ihya' Ulumuddin, dengan jelas dikatakan bahwa seharusnya kita melakukan Safar dengan salah satu empat tujuan. Pertama, kita Safar karena dalam rangka mencari ilmu. Kedua, kita melakukan Safar dalam rangka Ibadah kepada Allah baik Hajji maupun Jihad fii sabilillah. Ketiga, kita melakukan Safar karena demi menyelamatkan agama Islam sebagaimana perjalanan para Nabi dan Rasul. Keempat, kita melakukan Safar karena menghindari dari penyakit yang terjangkit didarah yang kita huni.
Walhasil, kita yang berada di Ponpes Nurul Ummah dengan tujuan mencari ilmu itu termasuk dalam bagian Safar yang pertama. Sehingga apapun yang kita lakukan disini semata-mata dalam rangka menghidup-hidupi syariat Islam, dan juga dalam rangka menghilangkan kebodohan.

Beliau Ust. Syamsul Anam pun sempat mengingatkan pada kita untuk selalu mengingat Allah, kapanpun dan dimanapun kita berada. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh para Auliya' dengan jargonnya, “Rame Ing Sepi, Sepi Ing Rame”. Contoh aplikasinya, kita melakukan ibadah, bermunajat dan bertaqorrub kepada Allah pada saat orang lain tertidur pulas, (Rame Ing Sepi). Kemudian (Sepi Ing Rame), dicontohkan seseorang yang selalu dzikir sirri walaupun berada ditempat ramai seperti pasar. Artinya apapun keadaan kita, kapanpn, dan dimanapun kita haru selalu mengingat Allah dan kita melakukan sesuatu karena Allah bukan karena Makhluk. Jargon seperti ini sangat penting untuk kita para santri Nurul Ummah untuk berusaha dan mencoba mengaplikasikannya.

Ada pertanyaan yang menarik dari beliau, yaitu bagaimana dengan seorang manusia yang beribadah kepada Allah dengan tujuan mengharap Surga, padahal surga adalah makhluk. Apakah seorang itu dapat dihukumi musyrik karena melakukan ibadah dengan sandaran makhluk? Kita cari tau jawabannya dengan mulai mengintropeksi diri kita, apakah ibadah kita kepada Allah masih demikian adanya? Karena memang tingkat keimanan seseorang berbeda-beda, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidup masing-masing individu. (Kfc/red).
Read more

0 Welcome Santri BAru

    * Oleh M Fadhil
 
    Manusia lahir dengan insting lemah dan kepekaan sosial yang kurang matang. Dia belum bisa melakukan komunikasi, interaksi atau berbudaya dengan manusia lain. Juga belum mampu mencurahkan keinginan, pemikiran dan gagasan pada lingkungan di luar dirinya hingga lingkungan tersebut memahami apa yang menjadi keinginannya. “ menangis” yang kita pahami adalah satu-satunya tanda akan keinginan bayi terhadap keadaan tertentu. Lingkungan dalam hal ini belum bisa memberikan, menciptakan dunia baginya.  

    Berbeda dengan binatang yang dilahirkan dengan organisme yang sudah lengkap. Binatang hidup dalam suatu dunia yang lebih kurang sudah ditentukan sepenuhnya oleh struktur instinktualnya. Dunia tertutup sepenuhnya oleh kemungkinan-kemungkinan karena telah terprogram oleh sifat kebinatangan. Oleh karenanya kita mengenal dunia tikus, anjing, burung dan yang lainya, sedangkan manusia tidak mengenal hal yang demikian. Dengan kata lain binatang telah mendapatkan dunianya secara biologis ketika awal mula dilahirkan.

    Pemenuhan dunia manusia sendiri dibangun oleh sifat dasar mereka yakni pola-pola sosial yang diawali dengan komunikasi dan interaksi. Atas dasar itu manusia sejatinya adalah makhluk sosial, bahkan sejak awal mula lahir. Kekurangan yang ada pada waktu lahir adalah fase awal dari proses pematangan menjadi makhluk sosial seutuhnya. Hal ini dapat dicapai ketika individu mencurahkan dirinya ke dalam masyarakat (eksternalisasi) serta meresapi makna yang ada dari masyarakat tersebut (internalisasi). Kedua pokok ini yang menjadi jalan seseorang menemukan dunianya dan hidup di dalam dunia itu.

    Mengikuti logika di atas tadi, datangnya santri baru di tengah-tengah kita adalah fenomena yang menarik untuk dikaji. Sejak awal santri baru tidak mengenal arena budaya pesantren, yang dalam hal ini adalah Nurul Ummah. Masih tersimpan dalam benaknya sebuah pertanyaan besar, apa itu pesantren?. Beberapa pertanyaan lain segera muncul, mengapa tirakat? Kenapa tidak boleh merokok? Tidak boleh membawa handphone? Atau pergi ke warung internet (warnet)? Dan keluar izin diizinkan bila telah melalui izin dari pengurus?. Jelas pertanyaan ini sangatlah penting mengingat struktur kebudayaan di rumah telah membentuk masing-masing individu dengan hal yang berbeda dan bertolakbelakang dari yang mereka hadapi sekarang.  

    Secara praktis, diakui atau tidaknya seseorang sebagai bagian dari kebudayaan tertentu bukan  diukur dari semakin banyaknya jumlah anggota suatu budaya karena dia telah masuk ke dalamnya. Sedikitnya, menurut E.B Taylor, nilai dan makna dari kebudayaan itu haruslah menjadi penghayatan dalam diri individu. Oleh karena itu seorang santri baru yang mendapatkan status “kesantrian” dan diakui hak atas dirinya untuk menikmati fasilitas pesantren, membaca buku-buku dan kitab di perpustakaan ndalem, belajar diniyah hanya dapat dibenarkan secara administratif. Wujud “kesantrian” sebenarnya adalah peresapan nilai dan makna melalui tarik-ulur proses internalisasi-eksternalisasi. Dengan bahasa yang lain, belumlah dianggap sebagai santri seutuhnya jika syarat di atas belum terpenuhi.

    Seorang anak yang dulu mungkin telah merasakan hidup di pesantren yang berbeda dalam prakteknya belum tentu krasan hidup di Nurul Ummah. Sebab kebudayaan masing-masing pesantren sedikit banyak berbeda. Yang menentukan krasan tidaknya seorang santri di Nurul Ummah adalah proses internalisasi-eksternalisasi dalam membangun dunia yang menjamin mereka tetap berada di  Nurul Ummah.

    Dia layaknya bayi yang belum mengerti ini dan itu. Realitas sosial belum bisa memberikan dunia pada dirinya. Satu-satunya cara untuk membuat dunianya adalah dengan melakukan pencurahan diri pada realitas sosial yang terpampang di luar dirinya (eksternalisasi), memahami sikap budaya betapapun diri tidak suka dengan hal itu. Pengorbanan tentunya sangat dibutuhkan dalam proses pencurahan. Dengan seperti ini, kedatangan dia sebagai santri baru menjadi penerus bahkan pelengkap dari konstruksi budaya serta mengawal perjalanan budaya tersebut.

 Demikian santri baru digojloki karena proses internalisasi-eksternalisasi yang belum matang yang mengakibatkan seorang santri tidak krasan. Pada saatnya dia akan balik meng-gojloki karena kedua proses itu telah dijalankan dengan baik. Akibat yang bisa diperkirakan adalah krasan bahkan menganggap pesantren sebagai rumah yang tidak bisa ditinggalkanya.

Untuk itu selamat kepada santri baru. Selamat datang di nurul ummah. Semoga mampu meresapi kebudayaan pesantren dan mencurahkan bentuk-bentuk pemikiran dan gagasan yang cerdas demi kepentingan bersama.

*alumni MANU(Madrasah Aliyah Nurul Ummah)
(Madrasah Aliyah Nurul Ummah)
Penulis adalah alumni MANU
(Madrasah Aliyah Nurul Ummah)
Read more

2 Kemarau Panjang

Kotagede, 08 Agustus 2011. Kemarau panjang telah kita rasakan selama ini, terutama di pondok kita Nurul Ummah. Banyak sekali dampak yang bermuncul-muculan. Mulai dari sulitnya air karena sumur-sumur yang biasanya digunakan sebagai sumber air mengering, dan juga banyak santri yang terkena wabah-wabah yang bermunculan.

Kesulitan air terjadi di asrama mahasiswa pondok putra beberapa waktu lalu. Sumur yang biasanya digunakan untuk mengisi bak kamar mandi komplek A dan C tidak dapat mengalir airnya. Hal itu disebabkan karena sumber airnya mengering. Karena itu perlu dilakukan pengeboran ulang guna mendapatkan sumber air yang lebih dalam. Setelah dilakukannya pengeboran tersebut oleh ahli yang didatangkan dari luar pondok akhirnya sumber air sekarang telah lancar kembali.

Kesulitan air juga sangat dirasakan terutama di pondok putri. Hal ini telah menjadi masalah utama di pondok putri jauh sebelum musim kemarau datang. Ini dikarenakan pompa air yang sering mengalami kerusakan. Apalagi ditambah dengan musim kemarau seperti saat ini, mbak-mbak putri mengalami kesulitan mandi. Sehingga sering harus mencari kamar mandi di luar pondok untuk mandi. Karena masalah ini santri putri  juga menjadi malas mandi. Seperti ketika didengar oleh salah satu kru korma sebuah obrolan salah seorang santri putri yang bertanya pada temannya kemarin,”Mbak kowe arep adus sek ra?” Kemudian dijawab oleh temannya, “Ora ah, males. Ra ono banyune we, banyune sithik”. Terlebih lagi adanya PKR( Pesantren Kilat Ramadhan ) tahun ini dari SMP 2 Bantul, panitia mendatangkan stok air bersih untuk mengantisipasi kekurangan air yang terjadi di pondok putri.

Selain sulitnya air masalah yang juga timbul yaitu merebahnya wabah-wabah di kalangan santri. Di musim kemarau seperti sekarang ini palagi bersamaan dengan puasa Ramadhan yang kebanyakan terserang yaitu masalah saluran pernafasan. Banyak santri yang menderita batuk kering, radang tenggorokan, influenza, dll. Maka dari itu perlu ditingkatkan kewaspadaan santri akan kondisi seperti sekarang ini, dan juga menjaga pola makan yang baik di Bulan Ramadhan ini. Seperti yang dikatakan oleh salah satui anggota poskestren, Yusuf Nasubkhi,”Di musim pancaroba seperti sekarang ini santri harus menjaga pola istirahat yang cukup, jika tidak tahan begadang malam, maka jangan dipaksakan demi menjaga kesehatan”. Ia juga menghimbau agar para santri mengatur pola hidupnya, karena kondisi tubuh yang kurang fit akan mudah terkena penyakit. Karena penyakit itu menyebarnya tidak hanya menular melelui kontak langsung, tetapi juga melalui udara, tambahnya. (Mhls)
Read more

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger