Healthy Inside, Fresh Outside !
Oleh : Hikmatul Fitriyah
“Healthy Inside, Fresh Outside”. Slogan yang sangat cantik. Menjadi word icon dari salah satu produk suplemen kesehatan yang sangat terkenal -bukan untuk promosi lho!-. Semua orang tentu suka dengan slogan itu. Kali ini, penulis ingin membawa slogan tersebut sebagai “kaca” bagi kita, para santri Nurul Ummah. Pembaca sangat berhak untuk tidak setuju dengan isi tulisan ini. Tak ada paksaan pula untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.
Di sini penulis memaknai “inside” sebagai batin atau jiwa, sementara “outside” bermakna tampilan luar yang nampak dari kita. Outside dan inside yang dimaknai seperti ini sering menjadi parameter atau tolok ukur untuk memandang teman-teman maupun orang-orang sekitar, pun untuk menilai kepribadian kita. Terlepas dari sempurna atau tidaknya tolok ukur itu, dalam tulisan ini hanya akan dipaparkan beberapa masalah yang sering kita hadapi terkait aplikasinya.
Outside
. Tentunya menjadi sangat tidak adil ketika karakter seseorang serta baik buruknya seseorang, dinilai dari tampilan fisik yang sifatnya given atau taken for guaranted, pemberian Yang Maha Kuasa. Andai bisa memilih, tentu kita akan memilih untuk memiliki fisik yang mendekati sempurna sesuai standar kesempurnaan orang-orang sekarang. Menjadi perempuan yang cantik, atau laki-laki yang tampan, sekali lagi dalam ukuran kecantikan dan ketampanan fisik orang saat ini.
Namun apalah daya, Allah lah yang Maha Memberi, kita wajib mensyukuri. Toh, si cantik Ayin (Arthalyta) malah menjadi bahan cibiran masyarakat dan masuk bui –meski sempat berada di bui “berbintang”- karena menjadi penyuap kelas kakap. Si tampan Roy Marten pun beberapa kali terjerat kasus narkoba hingga keluar-masuk penjara. Yang demikian tentu tidak diinginkan.
Kalau sisi fisik yang sifatnya given tersebut bukanlah standar penilaian, maka tak lain pola sikap kita lah yang mampu diandalkan. Pola sikap atau karakter ini bisa dibentuk mulai dari pembentukan pola pikir dan pemahaman kita. Di sinilah pentingnya meningkatkan semangat mengkaji ilmu, ilmu untuk dipahami lalu diamalkan, bukan hanya dalam tataran wacana (informasi) yang tak berbekas dalam tingkah laku. Jadi, bukan berarti ketika kita merasa sangat bangga terhadap apa adanya kita saat ini, lantas kita menutup mutlak segala pintu bahkan celah perubahan dari manapun itu, dari bacaan, saran dan kritikan teman, serta yang lainnya. Wong ada ungkapan bahwa di dunia ini tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Kalau untuk menjadi lebih baik, kenapa tidak?
Lagi, menurut penulis, aksesoris “outside” yang masih terlewatkan oleh kebanyakan dari kita adalah kebersihan dan kerapian. Dengan terjaganya kebersihan dan kerapian diri, kita sangat bisa tampil fresh tanpa harus menjadi orang cantik, tampan dan memiliki fasilitas yang mewah. Kreativitas untuk mengenakan perpaduan kostum dan aksesoris juga menjadi kunci tersendiri bagi kita agar terlihat nice tapi tetap syar’i dan tidak berlebihan untuk kadar para santri.
Satu di antara masalah yang ada, seringkali ada dikotomi kualitas penampilan kita; antara di lingkungan pesantren dengan di luar pesantren. Serangkaian kegiatan di pesantren meliputi diniyah, kajian kitab, sorogan, kegiatan malam jum’at, hampir semua kita ikuti dengan tampilan “apa adanya”. Sudahlah diniyah tanpa muthola’ah dulu, tidak ada semangat, ngantuk, ditambah dandanan kita “kurang” bersih dan awut-awutan. Sekedar refleksi, penulis mengambil contoh di pondok putri – kalau di putra ya tidak tahu, mencurigakan jadinya kalau penulis sampai tahu-, banyak dari kita yang ketika diniyah masih memakai baju “balapan” dan kerudung “berponi”, padahal sang ustadzah sudah berdandan serapi mungkin. Belum kalau kita kaitkan dengan kualitas kebersihan dan kerapian tempat kita yang cukup menjadi catatan serius, hemat penulis, ini semua cukup berpengaruh pada suasana forum yang ada. Padahal forum-forum itu kebanyakan adalah forum ilmu.
Kita bisa membandingkan, ternyata dandanan kita di lingkungan pesantren seringkali sangat berbeda dengan di luar pesantren. Untuk kuliah atau sekolah kita bisa perfect, bahkan untuk shopping, ngeceng, nongkrong maupun konkow-konkow di tempat-tempat yang menyenangkan, kita pun bisa tampil OK punya, bukan “apa adanya”.
Bukan apa-apa, setidaknya perbedaan itu bisa menunjukkan cara pandang penghargaan kita, lebih dominan kemana, kepada ilmu atau aktivitas yang sifatnya having fun semata.
Inside
Kita memang bisa berapologi, “tak masalah dengan tampilan luar kita yang awut-awutan, asal jiwa kita tertata rapi, sehat dan kuat”. Pertanyaan yang muncul, benarkah demikian? Sudah seberapa kuat riyadhoh kita dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya? Sudahkah kita menghindari atau paling tidak mengurangi aktivitas yang dirasa mampu memperlemah batin dan jiwa kita? Sudahkah kita menghilangkan kemalasan untuk mencari ilmu dan beramal shalih lainnya? Sudahkah kita menghilangkan sifat hasud, riya’, dendam, suka menggosipkan dan memfitnah saudara, termasuk kepada teman-teman santri kita? Sudah seberapa luaskah kita membuka pintu maaf untuk kesalahan mereka tatkala ada i’tikad kuat untuk berubah? Sudahkah kita mengikis sekecil apapun rasa gengsi untuk minta maaf ketika kita memang bersalah pada mereka? Apa saja yang telah kita lakukan untuk mempererat hubungan persaudaraan (ukhuwah) dengan saudara-saudara kita tadi? Yang lebih mendasar, apakah kita selalu mengingat-Nya di setiap aktivitas yang kita lakukan hingga tak kuasa untuk durhaka -sekecil apapun bentuk kedurhakaan itu- kepada Dzat yang Maha Besar, Allah SWT ?
Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab atau sekedar didudukkan sesuai sudut pandang masing-masing kita. Tentu saja, yang mengajukan pertanyaan (penulis) tidaklah selalu lebih baik dari pada yang membaca pertanyaan tersebut.
Whatever kondisi yang ada pada masing-masing kita, “Healthy Inside, Fresh Outside” akan selalu menjadi slogan yang cantik dan disukai semua orang. Wallahu A’lam.
Penulis, santri PP Nurul Ummah Putri
0 komentar:
Posting Komentar