DUA UNSUR POKOK KEHIDUPAN
(Kajian Kitab Marah Labid li an-Nawawi yang dibaca oleh Romo KH. Ahmad Zabidi)
By: Abdullah Faqir Rahmatih
(Kajian Kitab Marah Labid li an-Nawawi yang dibaca oleh Romo KH. Ahmad Zabidi)
By: Abdullah Faqir Rahmatih
M. Ghufron )*
NABI Muhammad saw merupakan seorang panutan (uswah hasanah) yang patut bahkan wajib untuk diikuti, terlebih lagi oleh kita sebagai umatnya. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Ahzab.
Secara naluri, orang yang mencintai seseorang pasti akan mengikuti kemauan orang yang dicintainya demi mendapatkan cintanya. Atau jika ia menyukai suatu barang pasti akan berusaha untuk mendapatkan dan membeli barang tersebut meskipun harganya mahal, atau minimal punya rasa tertarik pada barang tersebut, man ahabba syaian fahuwa ‘abduh.
Begitu juga kita sebagai orang mukmin. Jika kita mengaku mencintai Allah dan RasulNya, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan cinta Allah dan RasulNya. Lantas bagaimana cara kita mencintai dan mendapatkan cinta Allah? Allah telah memberikan salah satu jalan kepada kita dalam surat Ali ‘Imran (31) “qul in kuntum tuhibbuun Allaha yuhbibkum Allah” yang tak lain kita harus mengikuti Rasul-Nya.
Apabila kita cinta pada seseorang, boleh jadi orang tersebut akan membalas cinta kita, atau boleh jadi akan menolak cinta kita, hal ini merupakan perkara yang wajar, karena manusia memang masih pilih-pilih untuk mencintai. Hal ini sangat berbeda jika kita mencintai Allah. Kita tidak perlu khawatir cinta kita ditolak oleh-Nya. Karena Allah pasti akan mencintai hamba-Nya sesuai dengan bagaimana cara seorang hamba mencintai-Nya, apakah seperti dengan berpikir saja, berjalan atau bahkan dengan berlari, dan hal itulah yang disebut dengan cinta haqiqi, sebagaimana yang diterangkan dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib. Demikian pula keadaannya, Allah pasti akan membenci siapa saja yang membenci-Nya, sebagaimana cara ia membenci-Nya.
Dalam al-Qur’an pada ayat terakhir (29) surat al-Fath, Allah menyebutkan bahwa nabi Muhammad serta para sahabat adalah merupakan cerminan dari orang-orang yang paling besar cintanya kepada Allah. Hal ini bisa kita lihat melalui cara mereka mencintai dan mengikuti Rasul-Nya. Mereka saling menyayangi dan mengasihi antara kaum muslim, tanpa memandang kaya dan miskin, sebagaimana ajaran Rasulullah saw “rukhamaau bainahum”. Mereka kita kenal sebagai golongan yang paling khusyu’ dalam mengerjakan sholat, melaksanakan ibadah yang lain, dan paling rajin bekerja dalam mencari rizqi serta anugerah-Nya “rukka’an sujjadan yabtaghuuna fadllan minallaahi waridlwaanan”. Akan tetapi, disamping itu mereka semua adalah orang-orang yang sangat bersikap keras terhadap orang-orang kafir “asyiddau ‘alal kuffar”. Jadi, persaudaraan, kasih sayang serta sikap keras dan tegas mereka lebih ditekankan karena Islam dan Allah, bukan karena hawa nafsu dan keluarga atau golongan semata. Hal ini sesuai dengan Hadis yang tertera pada kitab Shahih Bukhari kitab al-Iman Hadis ke 7-14.
Coba kita renungkan, ada sahabat yang terkena anak panah, kemudian beliau berpesan kepada yang lain untuk mencabut anak panah tersebut ketika dalam sholat. Apa yang terjadi? Ternyata sahabat tersebut tidak merasakan rasa sakit sedikitpun. Selain itu, ada juga sahabat lain yang istiqamah dalam rutinitas sholat malam dengan mengkhatamkan al-Qur’an dalam setiap malamnya. Ada juga sahabat lain yang wafat ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan tentang siksaan akhirat. Kehidupan mereka sepenuhnya adalah dalam rangka ibadah, qul inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati li Allahi rabbil ‘aalamiin (al-An’am: 162). Dan mereka benar-benar telah menemukan kenikmatan “khalaawatal imaan” dari ibadah yang mereka kerjakan.
Lantas, telah sejauh mana dan setinggi apa cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya?, Sudahkah kita telah istiqamah dalam beribadah sehingga menemukan kenikmatan di dalamnya?, Adakah sekarang seseorang yang wafat gara-gara membaca dan merenungkan ayat-ayat yang menunjukkan siksaan akhirat?, Sudah pernahkah kita sesekali melakukan rutinitas sebagaimana yang telah dikerjakan oleh para sahabat?, Boleh jadi belum atau bahkan tidak pernah sama sekali. Tentunya yang tahu hanyalah Allah swt serta diri kita masing-masing, wa ma Allahu bi ghaafilin ‘amma ta’maluun.
Keterangan dalam ayat terakhir surat al-Fath tersebut sangat berlawanan dengan watak dan aktifitas kaum Yahudi yang hanya berorientasi pada materi semata. Sementara dalam masalah ruhaniyahnya banyak yang mereka abaikan. Bahkan, sampai-sampai mereka meminta kepada nabi Musa supaya meminta kepada Allah agar mau mewujudkan dzat-Nya secara materi, hatta nara Allaaha jahratan (al-Baqarah: 55). Mereka mempunyai sikap yang keras terhadap orang-orang kafir, akan tetapi rasa kasih sayang di antara mereka kurang atau bahkan tidak ada. Padahal dalam kitab Taurat telah disebutkan bahwa ciri-ciri dan tanda-tanda nabi Muhammad dan kaum mukmin bisa dilihat pada wajah-wajah mereka sebagai atsar dari rajinnya mereka melaksanakan sholat “siimaahum fi wujuuhihim min atsaris sujuud”, tanpa permintaan yang macam-macam.
Tentunya perilaku kaum yahudi tersebut merupakan suatu kebodohan dan kedunguan yang hanya dimiliki oleh kaum yang orientasi hidupnya hanya mengikuti akal dan hawa nafsu belaka “shummun bukmun ‘umyun fahum laa ya’qiluun”.
Bertolak belakang halnya dengan kaum nasrani, mereka justru hanya fokus dan mendasarkan aktifitas mereka pada ruhaniyah belaka, tanpa ada aktifitas kerja untuk mencari hal-hal yang bersifat materi sebagai anugerah dari Allah. Kehidupan mereka hanya fokus pada rasa kasih sayang belaka “rukhamaau bainahum”, tanpa adanya suatu ketegasan terhadap orang-orang kafir “asyiddaau ‘alal kuffar”. Sampai ada satu keyakinan di antara mereka “jika pipi kananmu ditampar seseorang, maka berikanlah pipi sebelah kirimu”.
Bagaimana hal itu bisa diterima akal, sudah jelas hal tersebut (tamparan) merupakan suatu kelaliman, kenapa malah mesti dibiarkan dan disuruh meneruskan kelaliman tersebut?. Perlakuan ini juga sangat bertentangan dengan keterangan yang sudah dijelaskan Allah dalam ayat tersebut dan ayat-ayat tentang Qishash.
Kesimpulannya, Rasulullah dan para sahabat menjadikan masalah ruhani dan materi sebagai satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan sebagaimana dua mata uang. Keduanya harus seimbang, antara sikap keras dan tegas dengan sikap cinta dan kasih sayang “asyiddau ‘alal kuffari rukhamaau bainahum taraahum rukka’an sujjadan yabtaghuuna fadllan minallaahi waridlwaanan”.
Oleh karena itu, kita sebagai orang mukmin yang mengaku sebagai umatnya wajib mensinergikan kedua sikap tersebut dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari, dengan tujuan semata-mata hanyalah ibadah untuk mengharapkan ridlaNya serta syafa’at RasulNya. Sebagai mukmin kita harus punya sikap optimis, tegas dan keras, akan tetapi kita juga harus punya rasa lembut, cinta dan kasih sayang, dengan menempatkan kedua sikap tersebut secara benar dan tepat.
Ingat!!! Keras bukan berarti kasar, dan lembut bukan berarti lembek atau lemah.
Mari kita renungkan! Sudah adakah dari anugerah Allah yang telah kita syukuri walau hanya sedikit saja?, Sudah adakah ajaran kekasih kita (Rasulullah) yang telah kita laksanakan sebagai wujud dari rasa cinta kita kepada beliau?, Telah lupakah kita para santri, atau memang sengaja lupa terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti di atas dari al-maghfur lah romo kyai Asyhari sehabis kita ngaji sorogan al-Qur’an kepada beliau?
Terakhir, marilah kita sadar kembali setelah kelalaian dan tidur panjang kita selama ini. Ayo kita bangkit kembali menjadi santri dan mukmin yang sejati, dengan memegang sikap cinta dan benci yang haqiqi, yakni cinta kepada Allah, cinta karena Allah, tegas karena Allah, mengalah karena Allah, berani karena Allah, marah karena Allah, serta benci karena Allah pula. Dengan begitu, semoga saja Allah berkenan untuk menyediakan kita banyak tempat di surgaNya, menyiapkan bagi kita bidadari-bidadariNya, serta berkenan untuk melihat dan dilihat kelak di surga oleh mata kita semua. Amiiin! *) Penulis adalah Direktur BP. Al Muhajirin tahun 2008.
Posting Komentar