Selamat Pagi, Indonesia!
*) Kareem Mustofa
HANYA karena kasih Allah semata, Shubuh dititahkan dengan berbagai keajaiban dan keutamaan bagi hidup kita. Keutamaan yang sudah dijemput oleh orang-orang salafuna shaleh di segala ruang dan waktu. Sayang, keutamaan itu seringnya kita abaikan. Tidak salah, bila kemudian seorang ulama bernama Raghib As-Sirjani, dalam kitabnya Kaifa Nuhafidzu 'Ala Sholatil Fajri yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Misteri Shalat Shubuh ini, merasa galau dan gundah gulana. Di saat bulan penuh berkah dan maghfirah seperti dalam bulan Ramadhan, shaf-shaf shalat akan terisi penuh bahkan luber sampai ke pelataran, namun di bulan yang lain seperti Bulan Shafar ini (bukan bulan Februari lho), Shubuh datang seraya menangis, mengaduh sebab disia-siakan.
*) Kareem Mustofa
HANYA karena kasih Allah semata, Shubuh dititahkan dengan berbagai keajaiban dan keutamaan bagi hidup kita. Keutamaan yang sudah dijemput oleh orang-orang salafuna shaleh di segala ruang dan waktu. Sayang, keutamaan itu seringnya kita abaikan. Tidak salah, bila kemudian seorang ulama bernama Raghib As-Sirjani, dalam kitabnya Kaifa Nuhafidzu 'Ala Sholatil Fajri yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Misteri Shalat Shubuh ini, merasa galau dan gundah gulana. Di saat bulan penuh berkah dan maghfirah seperti dalam bulan Ramadhan, shaf-shaf shalat akan terisi penuh bahkan luber sampai ke pelataran, namun di bulan yang lain seperti Bulan Shafar ini (bukan bulan Februari lho), Shubuh datang seraya menangis, mengaduh sebab disia-siakan.
Bangun di tengah kenikmatan tidur sembari berdzikir dengkur dan dinginnya pagi sembari bertasbih mimpi, tidak mudah bukan. Semalam ronda, pagi harus kuliah atau bekerja, siang kelelahan, sore kecapaian, petang tidak enak badan dan ratusan alasan menjadi pemandangan yang biasa kita lihat. Kenapa kita dipaksa Shubuh bercengkerama. Tuhan benar kuasa membuat seribu satu rahasia, manusia berat melakukannya, justru rahmat melimpah ruah tiada tara.
Berbilangnya keuatamaan waktu Shubuh, sederhananya kita temukan pada uangkapan orang Jawa. Orang Jawa mengatakan :"Ojo turu esuk-esuk mundak adoh rejekine" (Jangan tidur di waktu pagi, niscaya akan jauh rejekinya). Ungkapan ini sebelumnya pun telah disabdakan Nabi ketika membangunkan sang putri, sayyidah Fathimah az-Zahra, seraya berkata :" Hai Fathimah, bangun dan saksikan rizki Rabb-mu, Karena Dia membagi-bagikan rizki kepada hamba-hamba-Nya di antara Sholat Shubuh dan terbitnya matahari. Bagaimana dengan mereka yang menghitamkan ruang Shubuh.
Seringnya kita mendapatkan ibrah dan pelajaran dari waktu Shubuh, begitu berharganya, tapi kita terkadang ya begitu, maaf :meremehkan diri atau malah cuek is the best. Waktu Shubuh bukannya untuk membuka kejernihan mata hati, menajamkan akal inderawi, mengucapkan selamat pagi pada embun pagi, namun sebaliknya kita tuangkan pipi pada bantal di saat pagi menjelang, merapatkan barisan mata-mata yang belum terpejam –kadang minta legitimasi keamanan- (tolong jangan diganggu, semalam ronda) dan sebagainya. Itulah kita, tidak munafik, penulis pun merasakan hal sama.
Perlukah kita menengok catatan harian ke belakang, di kala mereka yang merasa bersyukur atas nikmatnya tidur pagi. Tentunya masih ingat, peristiwa Kotagede "pagi berdarah", satu tahun silam, gempa bumi berskala 5,9 SR yang memakan korban 3 santri Nurul ummah yang kebetulan "mensyukuri" nikmatnya pagi. (bukan ngaji Maraghi lho) malah ada santri yang masih –memelesetkan istilah yang dipakai Zet Moelder- "manunggaling kawula ngimpi" alias belum bangun meski bumi saat itu semakin menjadi-jadi. Ataukah cerita lain, ketika mendapat rejeki nasi kebuli khusus edisi pagi dan hanya mereka yang khowaishul-khowas (tidak tidur pagi) yang mendapatkannya. Atau berkah ilmu manfaat dan doa mujarab yang saban hari dilantunkan oleh almarhum KH. Asyhari Marzuqi, H. Agus Muslim Nawawi. Ustadz Munir Syafaat, Ustadz Samito Manurung, dan Ustadz Munasir, dan hanya diamini oleh mereka yang datang mengaji (ngaji dalam mimpi ikut mengamini juga). Ataukah cerita-cerita lain yang belum tertintakan dalam lembaran ini. Semuanya berujung sama, pagi yang cerah, pagi yang indah, pagi yang hanya milik mereka yang mengakui Ashholatu khoirun min an-naum atau Naumu ash-Shoimi 'Ibadatun, bukan mafhum mukholafahnya. Umar bin Khotob RA pernah berkata : "Kapan aku sebaiknya tidur? Jika aku tidur siang hari, maka aku menghilangkan kepemimpinanku. Namun jika tidur di malam hari, aku menghilangkan diriku."
Pemandangan yang kerap kita lewati, bila melihat teman kita baru bangun pagi setelah matahari melambai min qadri rumhin, mengucap "Selamat pagi, Indonesia!". Entah apa maksudnya, yang jelas sapaan itu mengisyaratkan doa keselamatan dan perdamaian bagi si mukhotob bahkan bagi negara si mukhotob. Kata tersebut seakan menjadi mufrodat harian yang wajib diucapkan. Bila pagi ini terdengar kata itu, berarti ada teman kita yang bangun kesiangan (tetapi sudah shubuhan). Relakah kita, bila disapa saban hari tiada henti oleh teman kita, tidak malukah kita yang meskipun sapaan itu doa namun memuat pesan sindiran, siapkah kita menjawab sapaan "selamat pagi juga" seraya memberesi kotoran yang tersisa di pelapuk mata kita. Tidak bukan?.
Mari kawan, bersama kita cerna, di mana letak kesalahan sebenarnya. Sehingga Shubuh kita selalu berlalu begitu saja. Kesalahan ada pada mata kita, tidur kita, jadwal kegiatan kita, ataukah buah kemalasan kita. Usia kita hanya sesaat dan tiada akan kembali. Kehidupan ini tidak seberapa lama. Waktu terus berjalan. Kewajiban begitu banyak sedangkan kesempatan terbatas. Wahai kawan, waktu lebih berharga dari kekayaan dunia. Kita tidak akan bisa membelinya dengan emas dan perak apalagi menjualnya, kalau begitu marilah kita berusaha untuk tidak menyia-nyiakannya. Alangkah Indahnya perkataan Yusuf al-Qardhawi :
Kukatakan hidup adalah gerak
Bukan diam dan bukan pula beraktivitas
Itulah jihad
Adakah berjihad orang yang berpangku tangan?
Itulah bersenang-senang dengan kesusahan
Bukan bersenang-senang dengan tidur
Itulah hidup sebagai khalifah di bumi
Begitulah seharusnya engkau.
*) Santri laju asal Seyegan Sleman Yogyakarta
Posting Komentar