OPINI - PARAMNESIA

Oleh: Mas Jombang

Sebuah istilah asing, apabila hanya dilihat dari barisan abjad yang merangkainya. Tidak cukup hanya mencari tahu esensinya melalui kamus istilah. Penulis bermaksud memahami kata di atas dari kenyataan yang ditandainya. Karena bagaimanapun juga kata hanyalah penandayang sekedar mengantarkan pada realitas petanda.

Aktivitas, kesibukan danrutinitas, penelaahan ini akan berangkat dari tiga kata itu. setiap hari pikiran dan laku kita terjejali agenda yang harus ditunaikan. Bermacam jadwal harus dilakukan sesuai dengan target. Secuil waktu pun menjadi ruang gerak yang mengantar kita pada aktivitas harian untuk sebuah tujuan. Ruang, waktu, tenaga dan pikiran memfasilitasi diri untuk mencapai apa yang dipikirkan. Berulang kali hal itu terjadi hingga mendulang waktu berhari-hari sampai apa yang dibayangkan tercapai. Peristiwa inilah yang nantinya akan melahirkan wujud kata baru yang bermakna lebih tinggi lagi, Kesibukan.

Kesibukan bukanlah istilah yang hanya beredar di sekitar orang-orang “istimewa” saja. Seorang Santri pun dipandang hanyut dalam kesibukan. Entah hal itu dari inspirasi dan motivasi pribadi atau hasil rekayasa entitas di luarnya. Bagi orang penting, kesibukan adalah waktu yang dilalui dengan aktivitas berharga. Orang kaya mungkin mengartikan kesibukan sebagai jalan penuh harta karun yang harus ditempuh. Pandangan santri terhadap kesibukan? tentu tidak dapat digambarkan secara gamblang karena subyektifitas yang erat menjerat pikiran. Juga pengalaman dan motif pribadiantar individu yang berlainan. Pada intinya mereka sama-sama tercebur dalam lautan kesibukan.

Satu hal yang dapat membedakan antara ketiga karakter subyek di atas adalah pemaknaan terhadap rutinitas. Di dalam kehidupan santri sendiri berkembang sebuah stigma rutinitas yang melembaga, aktivitas berulang-ulang dalam intensitas yang batasnya tidak jelas. Cuplikan lirik lagu Mbah Surip dapat sedikit menyinggung ciri khas kehidupan santri tersebut. “ Bangun tidur, Tidur lagi, Bangun Tidur, Tidur lagi, Bangun....”penulis sengaja menyudahi lagu tersebut sebelum akhir lirik sebenarnya agar tidak semakin memperparah luka dari stigma yang menyakitkan tersebut. Bukan bentuk rutinitas yang menjadi fokus perhatian, melainkan bagaimana entitas diri dapat lepas dari rutinitasnya dan memaknai apa yang dilakukannya.

Para Santri tenggelam dalam rutinitas dengan beragam acara dan kepentingan yang didorong motivasi atas tindakannya. Hal itu maklum dan tidak perlu tanda tanya. Tetapi yang menjadi titik miris adalah jika tindakan tersebut dilakukan dengan hilang kesadaran dan tanpa acuan makna yang jelas.Rutinitas dilakukan tanpa arah yang berangkat dari kesadaran. Tindakan yang ditimbulkan bukan dari impuls dan hanya kebiasaan yang terulang. Setiap gerak bukan keinginan pribadi, melainkan spontanitas kontrol eksternal yang mengondisikan tindakan yang harus dilakukan sehingga menyerupakan diri seperti zombie yang melangkah tanpa rasa.

Makna dan kesadaran menjadi hal penting dalam setiap tindakan. Tindakan yang tampak bukan representasi kondisi yang senyatanya, Ia ibarat laut yang memendam rasa asin. Ketika kita melangkah,bicara,memutar isi kepaladan aktifitas dinamis lain, tentu orang luar tidak sepenuhnya tahu maksud kita. Itu adalah sebuah kelumrahan. Tapi sungguh tragis, jika pelaku sendiri tidak sadar dengan tindakannya. Ini bukan persoalan neurologi,apalagi terkait unsur kinetis. Ini adalah penggugatan eksistensi diri manusia. Ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu tubuh, pikiran dan jiwa. Manusia dikatakan mengada tatkala ketiganya berpadu dalam setiap geraknya. Satu saja nihil dari paduannya, rentan bagi tindakannya. Keselarasan dibutuhkan darinya agar keharmonisan terpelihara.

Dalam satu aktivitas, orang mungkin masih teringat makna tindakannya. Jika terulang banyak kali, Masihkah pikiran terjaga atasnya? Repetisi dari sebuah kata saja tidak nyaman didengar, bagaimana dengan perbuatan? Tanyakan pada diri sendiri apakah ia masih mengenali apa yang dikerjakannya. Rutinitas terlahir dari motivasi atas tindakan yang terindera. Ke mana tujuan bermuara hanya unsur terdalam individu yang paham. Sungguh fatal apabila eksistensi diri terlebur dalam samudera rutinitas yang alpha kesadaran. Lebih parah lagi, tubuh digerakkan oleh waktu yang seharusnya diatur, bukan sebaliknya.

Tidak perlu menyalahkan rutinitas, yang harus diperhatikan adalah keterjagaan dari kelupaan. Terutama ingatan terhadap apa yang diperbuat dan bagaimana seharusnya makna melekat padanya. Untuk mengejawentahkan ingatan itu dalam tatanan praktis, impulsi dan motivasi terlebih dahulu diselaraskan dengan intuisi. Jika hanya mengandalkan motivasi, apalagi instingsi, tentu makna dari tindakan akan hambar dan berujung pada kebosanan. Tindakan kita bukan hanya hilang makna, lebih riskan lagi tindakan kita justru menyesatkan pelakunya.

Uraiandi atas hanyalah secuil upaya pengakraban terhadap istilah asing tersebut. Dengan menyandarkannya pada realitas, setidaknya maksud dari kata itu terpahami. Paramnesia adalah ketidaksadaran dari tindakan karena cacat ingatan terhadap apa yang dilakukannya. Prioritas utama bukan tertuju pada makna harfiahnya saja, pengamalan dari sebuah kata lebih berharga dari pada sekedar hafal selaksa aksara. Dan itu menempatkan manusia pada locus yang sejatinya. Anda berkuasa mengartikan dan membentuk pengertian menurut preferensi anda sesuai pemikiran yang dipercaya. Tetapi, Yang terpenting adalah jangan kondisikan diri anda dalam pengertiannya yang sudah tersedia.

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger