Menarik ketika kita menyimak opini koran nurma di beberapa edisi yang lalu. Polemik yang muncul berada pada atmosfer sholawat dan ta’allum. Masing-masing memiliki pernyataan menarik dengan mengetengahkan hujjah yang cukup kuat. Jujur, saya sangat bangga memiliki teman seperti mereka karena kemantapan perkara yang mereka yakini masing-masing. Dari hal tersebut, saya menjadi teringat dengan Imam al Ghozali dan Ibn Rusyd. Alhamdulillah, tradisi meng-counter di masa salafuna ash sholih dapat saya saksikan di masa sekarang.
Terlepas dari semua itu, apakah dalam benak pembaca sekalian pernah muncul pertanyaan, mengapa antara sholawat dan belajar perlu diperdebatkan? Menurut saya yang faqir ini, selama masing-masing berjalan sesuai porsinya maka tidak perlu adanya perdebatan antara sholawat dan belajar. Tidak pula perlu diperdebatkan mengenai orang yang bersholawat namun hatinya tidak hudlur. Nuwun sewu, bukannya menggurui, Syaikh Ibn ‘Athoillah (cucu murid al Quthb Syaikh Abu Hasan As Syadziliy) dalam al Hikam memberikan untaian hikmah yang cukup menarik :
لا تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه
Dari untaian hikmah tersebut, secara eksplisit dan implisit dapat kita ketahui bahwa tidak seyogyanya bagi kita untuk meninggalkan “dzikir” yang disebabkan oleh ketidak-hudlur-an hati. Begitu juga dengan sholawat. Mungkin dari panjenengan ada yang menyangkal bahwa yang dimaksud oleh shohibul hikam dengan redaksi (الذكر) dalam untaian hikmah di atas adalah sebatas ingat kepada Alloh Ta’ala saja. Sekali lagi nuwun sewu, salah satu keistimewaan al Hikam adalah dapat dijadikan mercusuar di beberapa dimensi. Hal ini tidak mengherankan, mengingat shohibul hikam adalah seorang Quthb di zamannya dan menjadi mufti madzhabain (mufti ilmu dlohir dan bathin). Dalam dimensi hukum positif, (الذكر) dapat dianggap sebagai aturan hukum. Dalam dimensi bisnis, (الذكر) dapat dianggap sebagai business plan. Dalam dimensi militer, (الذكر) dapat dianggap sebagai strategi perang. Dalam dimensi asmara, (الذكر) dapat dianggap sebagai SMS-an dengan pujaan hati (hehe…). Mungkin kita ingat dengan kaidah :
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Ternyata untaian hikmah yang disampaikan oleh shohibul hikam, secara makna, tidak jauh berbeda dengan kaidah di atas.
Kalau memang bisanya bersholawat baru sekedar di lisan, belum bisa menjangkau hati, ya udahlah, nggak usah bingung. Dijalani mawon seadanya dulu. Orang yang baru pada tingkatan seperti ini mboten perlu disalahkan karena semuanya adalah proses. Kerso bersholawat saja, sudah alhamdulillah. Karunia dari Alloh Ta’ala yang perlu disyukuri. Hal ini sesuai dengan untaian hikmah dari Syaikh Ibnu ‘Athoillah berikutnya.
لان غفلتك عن وجود ذكره اشد من غفلتك في وجود ذكره
Sampun, mboten usah dipermasalahkan mengenai kembalinya dlomir hu (ه) karena sudah disampaikan sebelumnya terkait dengan kontekstualitas al Hikam di beberapa dimensi.
Kita patut membenarkan bahwa thoriqoh utama adalah tholabul ‘ilmi. Dalam beberapa referensi kitab, disampaikan alasannya, di antaranya yaitu dengan tholabul ‘ilmi seseorang dapat mengetahui kewajiban-kewajibannya sebagai hamba serta dapat membedakan perkara halal dan harom (dan seterusnya). Ada berbagai macam thoriqoh yang semuanya bermuara pada Alloh Ta’ala. Hal ini sesuai dengan bait syi’ir dari Syaikh Zainuddin berikut ini.
و لكل واحد هم طريق من طرق * يختاره فيكون من ذا واصلا
كجلوسهم بين الا نام مربيا * وككثرة الاوراد كا لصوم والصلاة
وكخدمة للناس والحمل الحطب * لتصدق بمحصل متمولا
Sampun jelas to ? Dalam syi’ir tersebut, orang yang mencari kayu bakar kemudian menjual dan men-shodaqoh-kannya pun juga termasuk menempuh thoriqoh. Lantas bagaimana dengan sholawat ? Saya juga gak tau e, hehe… Tapi al ‘Allamah as Sayyid Abdur Rohman bin Musthofa al ‘Aidrus menyatakan bahwa “kelak di akhir zaman, guru mursyid yang mentarbiyah murid akan tiada. Begitu juga dengan amalan yang dapat membawa wushulnya murid kepada Alloh juga akan tiada, kecuali membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW”.
Al Haq adalah tujuan setiap thoriqoh. Saya kira tidak pantas bagi kita untuk merendahkan salah satu thoriqoh karena toh tujuannya adalah sama, al Haq. Sebagai contoh, mau ke Surabaya. Bisa ditempuh dengan naik bus, pesawat terbang, taksi, sepeda motor, becak, sepeda onthel, atau mungkin jalan kaki (kalau pengen lebih cepat, pake pintu ajaibnya Doraemon, haha….). Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Yang naik bus gak usah ngece yang ngonthel. Yang naik pesawat gak usah ngremehke yang jalan kaki. Itu menuju Surabaya. Apalagi menuju Alloh Ta’ala. Tasamuh dan adab sesama penempuh harus dijaga. Kalau kita telisik, kita akan tahu bahwa Alloh-lah yang menciptakan berbagai macam thoriqoh tersebut. Macam-macam thoriqoh tersebut disesuaikan dengan berbedanya karakteristik setiap hamba. Lebih jauh, kita akan tahu bahwa sebenarnya Alloh-lah yang “memperjalankan” seorang hamba di thoriqoh tertentu, disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap hamba. Ada hamba yang cocok di thoriqoh tholabul ‘ilmi. Ada pula yang melalui jalur sholawat. Sekali lagi, yang memposisikan dan memperjalankan mereka pada thoriqoh tertentu hakikatnya adalah Alloh Ta’ala.
Sebagai penutup, perlu al faqir sampaikan bahwa tidak perlu dipermasalahkan lagi antara sholawat dan ta’allum karena sama-sama bermuara ke al Haq. Tentunya, dengan catatan bahwa masing-masing berjalan dalam porsi dan kondisi yang tepat. Belum tentu sesuatu yang baik selalu pas diterapkan di setiap kondisi. Belajar itu baik. Namun, ketika waktunya kerjabakti, opo yo wangun nek menyendiri di kamar (misalnya lho ya…) untuk belajar? Sholawatan itu bagus. Tapi, apakah tepat bila sampai mbolos ngaji tanpa ijin (misalnya juga lho ya…) untuk ikut dalam suatu majelis sholawat ? Kesimpulannya, belajar itu harus, sholawat jalan terus! Mekaten nggeh…
*) (semoga diakui sebagai) santrine Romo Kyai Asyhari
Asrama Mahasiswa PPNU
0 komentar:
Posting Komentar