Laporan Utama
“Waria, Gay dan Lesbian” Masuk Nurul Ummah Putri
PPNU-Pi. Berawal dari maraknya isu-isu mengenai Lesbi, Gay, Waria dan lain-lain di masyarakat saa ini, pengelola Majalah Pesantren Tilawah, mengadakan diskusi bertemakan “Waria, Gay, dan Lesbian” pada Rabu (22/12) di Kantor PPNU-Pi. Acara ini bertujuan untuk memperluas wawasan santri, meningkatkan semangat belajar di luar kurikulum madrasah, mengasah kemampun berdiskusi dan melatih bagaimana sikap seorang santri dalam menanggapi masalah-masalah seperti ini.
Dalam acara diskusi yang diikuti 13 santri putri pengelola MP Tilawah tersebut, Hikmatul Fitriyah atau yang akrab disapa dengan Mbak Pipit betindak sebagai pemakalah dan Rina Kusumawati sebagai moderator. Topik awal dalam diskusi yang gayeng malam itu adalah alasan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) ingin mendapatkan pengakuan di masyarakat. Mereka berpandangan bahwa perilaku mereka -meski belum sejalan dengan mainstream yang ada di masyarakat- adalah suatu hal yang alami. Penentangan terhadap penyaluran naluri tersebut dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut keterangan pemakalah, pada bulan September-Oktober lalu, di beberapa kota besar diselenggarakan Q! Film Festival, sebuah ajang untuk menampilkan kisah hidup pasangan sejenis. Namun menurutnya pula, trend yang makin menguat ini cukup meresahkan sebagian masyarakat sehingga beberapa bulan lalu muncul penolakan besar atas rencana diadakannya 4th ILGA-Asia Regional Conference (Konferensi se-Asia ke-4 Asosiasi kaum gay, lesbian, bisekual, transgender & intersex) di Surabaya.
Analisis atas beberapa faktor yang mungkin menyebabkan munculnya perilaku tersebut pun dibahas. Trauma atas kekerasan seksual pada masa lalu dengan pasangan lawan jenisnya, balas dendam atas perlakuan serupa, faktor lingkungan yang rusak, kebiasaan karena hidup dalam lingkungan yang sejenis, diamini oleh forum bisa memicu timbulnya perilaku tersebut. Artinya, perilaku tersebut disimpulkan bukan disebabkan oleh aspek naluriah yang alami, tetapi oleh konstruksi kehidupan sosial di sekitarnya. Pandangan forum seperti ini mengikuti kesimpulan dari seorang psikiater ternama yaitu Prof. Dr. Dadang Hawari.
Pendapat dari beberapa ulama mengenai hukum aktivitas seperti ini menjadi pembahasan selanjutnya. Kitab yang dirujuk oleh forum itu adalah kitab Nailul Authar karya Imam Asy-Syaukani. Sanksi tegas yang disampaikan dalam kitab itu sempat membuat merinding para peserta, namun ini membuat diskusi semakin ramai. Hukuman atas al-liwath (pada kaum gay) dan as-sihaq (pada kaum lesbian) yang berbeda-beda di kalangan ulama tetap menampakkan ketegasan sanksi atas aktivitas haram itu. Menguatkan pembahasan sebelumnya, salah seorang peserta diskusi mengatakan bahwa maqashid syar’i (filosofi tujuan) dari menikah itu diantaranya ialah untuk menjaga atau mendapat keturunan, padahal aktivitas seksual yang dilakukan sesama jenis mustahil akan merealisasikan tujuan ini, maka pernikahan yang sah dalam Islam adalah pernikahan dengan lawan jenisnya. Memang, kepuasan seksual bisa saja terpenuhi dengan sesama jenisnya, namun menurut kesimpulan forum yang berakhir pada pukul 00.15 WIB itu, hal tersebut adalah dorongan nafsu. Korelasi positif antara homoseksualitas dengan meningkatnya angka HIV/AIDS beberapa tahun terakhir ini juga disampaikan oleh pemakalah.
Penentangan oleh sebagian pemikir liberal terhadap pandangan ulama salaf dimunculkan selanjutnya. Siti Musdah Mulia ketika menafsirkan potongan salah satu ayat dalam surat Al-Hujurat “Inna akramakum ‘indallahi atqaakum” berpendapat bahwa kemuliaan seseorang itu tidaklah dilihat dari orientasi seksualnya, akan tetapi dilihat dari sisi ketakwaannya. Pendapat yang secara implisit melegalkan aktivitas homoseksualitas ini dipandang lemah karena aspek ketakwaan seseorang juga meliputi bagaimana cara orang tersebut memenuhi dorongan seksualnya, sesuai dengan apa yang Allah ajarkan atau tidak.
Diskusi tidak hanya berkisar pada aktivitas homoseksual (gay maupun lesbi) dan biseksual. Hukum operasi alat kelamin serta pandangan ulama mengenai khuntsa (waria) dan cara peribadahannya, meski sudah dijelaskan dalam banyak kitab kajian fiqh juga dibahas malam itu.
Yang cukup penting dalam diskusi ini adalah bagaimana langkah praktis untuk menyikapi orang dengan tipe ini. Beberapa peserta diskusi pun curhat. Pendekatan kepada mereka dipandang sangat perlu untuk dilakukan agar mereka tidak semakin terperosok dalam aktivitas haram di tengah arus liberalisasi budaya yang didukung oleh sistem saat ini. “Saya sangat terkesan dengan upaya pendirian panti rehabilitasi seperti yang dilakukan oleh salah seorang waria di Kabupaten Sleman yang telah sadar. Ini patut untuk ditiru” demikian komentar Qibti. Moderator diskusi yang juga mahasiswi UNY itu pun bercerita tentang perjuangan berat dosennya dalam mengeluarkan salah seorang mahasiswa beliau yang positif gay dari komunitas seperti itu. Ini membuat peserta diskusi semakin antusias.
Diskusi seperti ini direncanakan akan ada secara rutin tiap bulan dengan tema berbeda-beda. “Ke depan, seharusnya diskusi ini tidak hanya terbatas untuk anggota Tilawah saja, secara bertahap, pengurus pondok putri bisa diundang juga, santri lain ke depan seharusnya boleh ikut, biar menambah suasana kajian di pondok kita”. Demikian komentar M. Faqih, Pimpinan Umum MP Tilawah sesaat setelah menerima laporan dari salah seorang kru Tilawah putri pada pagi harinya (Kamis, 23/12). (Ad, P2t).
Posting Komentar