Jurnalistik Santri (1)
Oleh Hamid

SUDAHKAH kita mengenal jurnalistik santri? Atau, pernahkah kita sekedar mendengar, dan mungkin sekedar mengatakan ‘jurnalistik santri’. “Apa thoh jurnalitik santri?” Mungkin kalau Aming dalam film "Get's Married" yang bertanya, anak dari ‘sultan’ mana lho jurnalistik santri?

Selama ini yang kita kenal tentang jurnalistik itu adalah jurnalistik umum. Jurnalistik umum berarti media yang menginformasikan berita. Ditulis oleh wartawan-wartawan dari berbagai kalangan. Berita-berita yang dimunculkan lebih menonjolkan kebebasan yang kadang kebablasan. Sementara dalam lingkungan pesantren prinsip yang menjadi dasar jurnalisme mereka tentu tidak selamanya ncocok dan pas diterapkan dalam komunitas pesantren. Lalau seperti apa sosok jurnalitik santrin itu? Sehingga disini bisa dikatakan antara jurnalistik umum dengan jurnalistik santri tidak sama. Baik dari segi prinsip, karakter, dan etika yang dijalankan.

Namun kemudian jika ada muncul istilah kata ‘jurnalistik santri’, tentu ini suatu hal yang perlu menjadi pemikiran. Apa sesungguhnya jurnalistik santri itu? Apakah jurnalistik santri itu sekedar sebutan, ungkapan, justifikasi, atau itu hanya sebuah kegiatan yang dilakukan santri yang melakukan kegiatan jurnalistik. Atau mungkin, jangan-jangan kata jurnalistik santri itu hanya sekedar omong kosong belaka, sekedar omongan yang sambil lalu dan tidak punya makna sama sekali. Atau mungkin sekedar istilah wangun-wangunan, dan mungkin bla..bala…bla…!

Kata jurnalistik santri sendiri masih menyimpan misteri. Namun alangkah baiknya jika kita tetap berusaha mencari makna dari kata itu. Mari kita terlusuri kata 'jurnalistik' dan kata 'santri itu dulu secara ilmiah? Kenapa harus kita tulusuri kata ini dulu. Sebab kedua kata ini menjadi kata pokok guna memberi pemahaman yang sempurna. Kata jurnalistik sendiri memiliki pengertian umum. Jurnalistik berasal dari kata ‘jurnalistik, berarti kegiatan kewartawan yang berkaitan dengan tulis menulis. Isinya tentang tulisan, artikel atau opini,dan lain-lain.
Sementara itu, kata santri berasal dari kata san (sun) dan tri (three). “San” dalam istilah orang Jawa sering diterjemahkan menjadi arti ‘pesan’. Semenyara dalam istilah inggris ‘sun’ berarti matahari (sinar) yang bermaksud menyinari. Sementara “Tri” dalam istilah orang Jawa juga sering diterjemahkan menjadi “tiga”, dan orang Jawa sering menamakan anak yang nomor tiga dengan sebutan ini, missal saja Tri Susanti, Tri Susanto, Tri Wahyuni, Tri Wahyuno dst. Three (istilah inggris) juga berarti tiga. Tiga di sini maksudnya tiga pesan Islam, yaitu Iman, Islam, dan ikhsan. Kalau digabung dan diserasikan kedua kata itu menjadi ‘tiga pesan’. Maksud dari tiga pesan itu adalah Iman, Islam dan Ikhsan.

Lebih lanjut jika kita gabung antra pengertian Jurnalistik santri diantara keduanya, terutama yang masih berkaitan dengan santri dan berkiblat pada nilai-nilai iman, islam, dan iksan, maka jurnlistik santri yang dimaksud di sini adalah jurnalistik yang berpedoman pada Islam. Itu artinya, akar sejarah jurnalistik santri adalah sejak zaman nabi daud dan nabi-nabi yang lain, hingga zaman modern sekarang ini.

Sejarah jurnalistik santri yang muncul dari dunia Islam sebagai kiblat jurnalistik santri belum jelas. Justru yang paling jelas adalah jurnalistik dari negeri barat. Di negeri barat jurnalisme sudah berkembang sejak di abad ke 20. Ada empat faktor penting yang mereka pegang; perkembangan organisasi dari pekerjaan kewartawanan; kekhususan pendidikan jurnalisme; pertumbuhan keilmuan sejarah, permasalah dan berbagai tekhnik komunikasi massa; dan perhatian yang sesungguh-sungguhnya dari tanggungjawab sosial kerja kewartawanan.

Organisasi kewartawanan pertama kali didirikan pada tahun 1883, melalui the foundation of england’s chartered institute of journalists. Sejarah jurnalistik ditemukan sebagai sebuah kegiatan melaporkan berbagai kejadian atau peristiwa yang terjadi di masyarakat. Perkembangannya terkait dengan ditemukannya mesin cetak sebagai wahana yang mengganti oral, dari mulut ke mulut, ketika menyampaikan informasi. Bentuk cetakan, khususnya surat kabar, merupakan awal dunia jurnalisme mengabarkan berbagai kejadian masyarakat..

Produk pertama jurnalistik dalam bentuk newsheet yang beredar di Roma, dinamakan Acta Diurna, Harian yang terbit pada abad ke 5 sebelum masehi, yang digantung di alun-alun kota, ini merekam segala kejadian social dan politik.

Pada abad pertenganah, jurnalisme mengenali bentukkan pengiriman laporan, tinjauan, perkabaran dan lain-lain, yang diedarkan diberbagai intitusi untuk tujuan yang bersifat informative. Fase ini dikenal sebagai masa peredaran sirkulasi flaying papers.

Di Eropa Barat, sebagai tanah kelahiran intitusi sosial ‘mesin pers’, bisa dinilai sebagai wilayah awal pertumbuhan jurnalisme. Belgia dikenal sebagai tempat niewe tydingen (All News, atau kumpulan berita) tahun 1605. Di Jerman, kota-kotanya memunculkan berbagai terbitan cetak regular. Di Inggris, terbitan cetak pertama adalah weekly news, pada tahun 1622. Salah satu terbitan awal surat kabar harian ialah The Daily Courant, pada tanggal 11 Maret 1702.

Embrio jurnalistik juga muncul dikawasan Asia. Di Cina pada dinasti T’ang, di lingkungan istana, ada beredar media bernama pao, yang berarti report (laporan). Tetapi Rozhkov mencatat bahwa media di istana pada Abad VIII itu bernama Dibao. Di Jepang ditemukan nama Lomimiori Kavaraban (‘to read and to hand”).
Permunculan Koran-koran pada abad 18 itu bukan tanpa halangan dan tekanan. Sensor, pembatasan pemberitaan, dan beban pajak, adalah di antara beban yang diterapkan kepada pengelola media. Namun, di tengah keadaan seperti itu, pada abad 18, berbagai terbitan jurnalisme awal tetap bermunculan. Misi yang diembannya adalah kebebasan berpendapat dan menyalurkan kebutuhan masyarakat. Awalnya didesak awal melek huruf masyarakat, namun sejalan perkembangan mesin dan elektrik, sirkulasi harian Koran meningkat dari jumlah ribuan, ratusan ribu, sampai jutaan eksemplar.

Bentuk majalah terbit abad ke -17, melalui bentuk-bentuk jurnal. Dimulai dengan artkel-artikel opini yang mengomentari berbagai kejadian aktual. Tatler (1709-11) dan spectator (1711-12) adalah contoh awalnya. Perputarannya melebar dan menyentuh khalayak berpendidikan, melalu majalah-majalah ilustratif dan wanita. Begitulan sekilas sejarah jurnalisme yang berkembang dibarat, punya sejarah dan karakter.
Sementara itu, dalam dunia Islam yang merupakan rujukan jurnalisme santri, belum ada data otentik yang secara jelas mengungkapkan sejarahnya. Akan tetapi jika kita ingin menelusuri dan mendalami sejarah Islam. Maka di sana terdapat banyak kegiatan yang berhubungan dengan dunia jurnalistik. Jika kita memahami sejarah Islam, maka jurnalistik muncul sejak zaman Rasulullah dan bahkan sejak zaman Nabi Dawud yang merupakan urutan Nabi yang paling awal memiliki kitab suci. Di sini berarti ada kegiatan jurnalistik. Apakah ini yang dinamakan sejarah jurnalistik santri itu?

Bagaimana karakter jurnalistik santri? Pertanyaan inipula yang nantinya akan memebedakan antara junalistik santri dengan jurnalistik pada umumnya. Karakter jurnalistik santri adalah yang berpedoman dengan nilai-nilai Islam. Apakah itu cukup?? Apakah perlu dimasukkan dengan nilai-nilai yang ada dalam pesantren. Bagaimana dengan nilai-nila yang ada dalam jurnalistik santri? Yang jelas ketika melakukan pemberitaan harus memenuhi tujuh elemen jurnalisme; kebenaran, loyalitas pada santri (masyarakat), disiplin dalam melakukan verifikasi, kemandirian terhadap apa yang diliputnya, kemandirian untuk memantau kekuasaan, meletakkan jurnalisme sebagai forum bagi kritik dan kesepakatan publik, dan jurnalisme harus dapat menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik.

Dalam dunia pesantren tujuh elemen itu mungkin perlu ditambah dengan etika pesantren, yaitu pemberitaan harus terhidar dari prasangka negative (su’udhan). Inipula yang nanti akan membedakan karakter jurnalistik santri dengan dengan jurnalistik pada umumnya. Karena jurnalistik pada umumnya dalam pemberitaannya berdasar dari prasangka negative. Sementara jurnalistik santri berdasar pada khusnudhan (prasangka positif). Sehingga dari satu karakter ini setidaknya ada titik cerah perbedaan itu. Jurnalistik santri mempunyai karakter dari khusnudhan, sementara jurnalistik umum dari ‘su’udhan’. Inilah dasar perbedaan itu. Wallahu'lam. *(Penulis adalah Pemimpin Umum Majalah Pesantren Tilawah PP. Nurul Ummah tahun 2006-2008).

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger