Renungan

Pesimis

MEMBACA judul di atas agaknya nuansa pesimistis langsung menyusup dalam benak. Hanya saja, dalam rangka ini kita tidak hendak membahas tentang pesimistis maupun optimistis dalam persepsi bahasa dan kesusastraraan. Kita juga tidak sedang berkuliah tentang antonim apalagi sinonim. Namun sekali lagi ini lebih kepada wahana intospeksi atas peran diri kita dimana kita kini berpijak. Bukan hal aneh jika ini benar terjadi karena pada prinsipnya kita memang harus membangun landasan kesadaran kita dengan mulai bermenung atas identitas diri, peran diri, hingga bahkan resiko yang akan diambil diri.

Bagiku secara pribadi, ini akan sangat menentukan ke mana kita akan melangkah, sebab jika Jas Merah itu kemudian hanya menjelma menjadi Merah, maka bersiaplah untuk menanti kehancuran (fantadzir as-sa’ah).
Berlebihan jika menganggap tulisan ini sejenis Asal-Muasalnya kompas, atau Haltenya Jawa Pos, sebab tulisan ini hanyalah sebuah percikan isyarat yang tentu saja kapasitasnya jauh di bawah dua media kenamaan di atas. Isyarat itu menganjurkan bahwa kontemplasi atas apa yang telah terjadi merupakan sunnah muakkadah atau sepadan dengan “agak wajib”.

Bagi Mereka yang sedang Menerka
Momen tahun baru hijriyah telah larut dalam lintasan hari-hari kemarin, entah ini hari keberapa -lupa karena jarang menyentuh kalender- dari momen penting dalam agama Allah ini. Bagiku, tak ubahnya hari ini, kemarin atau bertahun-tahun kebelakang adalah sama saja dalam tiap pergantian waktu seperti ini. Sebab, apa yang aku dapatkan dari dulu hingga kini tak pernah berubah: rutinitas, menjemukan, miskin ide karena sistem, atau rentetan seratus kata yang senada.

Akhirnya? “Di akhirat kelak ganjaranmu” seperti itulah yang selalu dikatakan orang bijak. Merenungi jawaban ini, kepuasan batin seakan membanjiri relung manusia dhoif sepertiku. Namun, seakan tak bergulir lama ada yang mencuat dalam hati, cuatan itu menjelma protes liar yang terkadang aku biarkan atau bahkan justru kubenarkan. Lalu apa yang musti kita cari selama kita hidup di dunia ini, jika kita selalu mengkultuskan konsep Jabariy yang berlarut-larut? Bukankah kebahagiaan dunia juga memiliki ruang dalam hidup kita?
Hendaknya dalam memandang dunia tidak hanya sebelah mata?
atau jika dalam bahasa di mana ka’bah bercokol adalah tasyaum dan tafaul. []@ri

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger