Ma’rifat Kiai
Ketika santri ditanya bagaimana perasaannya ketika ngaji sorogan Al-Qur’an pada Kiai Asyhari, rata-rata mereka menjawab, ngaji dengan suasana tegang. Tegang bukan karena sosok Kiai yang menakutkan, tapi karena ada rasa pakewuh apabila salah baca atau salah mengartikan ayat. Apalagi buat santri yang biasa melanggar peraturan pondok atau kurang dalam hal ibadah, ada semacam rasa berdosa pada Kiai, walaupun Kiai tidak mengetahuinya secara langsung.
Ketika santri ditanya bagaimana perasaannya ketika ngaji sorogan Al-Qur’an pada Kiai Asyhari, rata-rata mereka menjawab, ngaji dengan suasana tegang. Tegang bukan karena sosok Kiai yang menakutkan, tapi karena ada rasa pakewuh apabila salah baca atau salah mengartikan ayat. Apalagi buat santri yang biasa melanggar peraturan pondok atau kurang dalam hal ibadah, ada semacam rasa berdosa pada Kiai, walaupun Kiai tidak mengetahuinya secara langsung.
Ketika kelas I Wustho, saya dan teman-teman ngaji sorogan Al-Qur’an rutin setelah ngaji Al-Maraghi. Kalau tidak salah, pada waktu itu yang dibaca adalah Surat Ad-Dhuha. Seperti biasanya, ada santri yang bertugas membaca ayat, kemudian secara bergantian ada yang membaca terjemahan. Setelah pembacaan ayat dan terjemahan selesai, lantas Kiai bertanya “Apa kesanmu terhadap ayat yang kamu baca?”.
Surat Ad-Dhuha turun ketika Nabi menunggu turunnya wahyu, karena wahyu terhenti untuk sementara waktu. Orang-orang musyrik yang selalu memusuhi Nabi berkata: “Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadanya”. Kemudian turunlah ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang musyrik itu. Allah tidaklah meninggalkan Nabi dan tiada pula benci pada Nabi.
Dalam ayat 6-8 Allah berfirman kepada Nabi, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”.
Kiai kemudian menjelaskan kandungan isi dan makna surat Ad-Dhuha yang telah dibaca oleh santri. Seingat saya, pesan Kiai pada santri adalah anjuran untuk mengasihi anak yatim. Apabila tetangga kita terdapat anak yatim, kita dianjurkan memberikan santunan walaupun sedikit.
Saya tertarik dengan penjelasan Kiai tentang diri Nabi Muhammad SAW. Walaupun hidup dalam penderitaan tapi Nabi tetap optimis bahwa dakwahnya akan bertambah baik dan berkembang.
Setelah Kiai menjelaskan kandungan ayat, lantas Kiai mempersilahkan santri untuk bertanya. Kiai terlihat gembira apabila ada santri yang bertanya. Ketika ditawarkan untuk bertannya, seperti biasanya semua santri terdiam. Karena semua teman-teman diam, saya iseng-iseng bertanya pada Kiai. “Kiai, bagaimana cara kita mencintai Nabi?”.
Kiai menjawab “Cara kita mencintai Nabi itu ya dengan menjalankan sunnah-sunnahnya. Nabi selalu sholat tahajjud tiap malam, selalu shalat dhuha, puasa senin kamis. Lha, kamu tiap malam tahajjud tidak, sering shalat dhuha tidak, puasa senin-kamis tidak? Kalau tidak, ya berarti bohong kalau mencintai Nabi!”.
Aku tertunduk malu. Mati aku. Saya jarang tahajjud, jarang shalat dhuha, tidak tahan menehan lapar kalau puasa. Seakan-akan Kiai tahu keseharianku yang selalu saja melanggar peraturan pondok dan jarang melakukan taqarrub kepada Allah. Jangan kau tiru kelakuanku ini.[] Penulis sekarang duduk di Kelas II Ulya.
0 komentar:
Posting Komentar