Opini
KEBANGGKITAN SASTRA PESANTREN*)
Oleh Zaki Zarung
PEMBERIAN barang atau uang -baik banyak atau sedikit, besar atau kecil, istimewa atau biasa- oleh seorang tak berlatar alasan, mendadak menjadikan si penerima merasa inilah budi terindah dan kemudian harus menanggung hutang tak kesudahan. Siang malam setiap waktu dan pembicaraan ia merasa harus menyampaikan kebaikan itu dan memuji-muji si baik hati sang pemberi. Simpanan di Bank Budi -meminjam istilah Paolo Choelho dalam novel The Zahir sebagai metafor perlakuan bajik yang dilakukan seorang- menjadi sebegitu berartinya apabila perlakuan itu datang dari orang asing, ataupun kawan baik dekat ataupun tidak yang tak ada kadar famili sedikitpun. Begitulah manusia sering terjebak dalam penghargaan instan. Seperti anak kecil ketika diminta memilih kanan atau kiri, jawabnya, “kiri”. Jika dibalik kiri atau kanan, jawabnya, “kanan,” suatu yang datang belakangan menjadi lebih indah dari sejarah.
KEBANGGKITAN SASTRA PESANTREN*)
Oleh Zaki Zarung
PEMBERIAN barang atau uang -baik banyak atau sedikit, besar atau kecil, istimewa atau biasa- oleh seorang tak berlatar alasan, mendadak menjadikan si penerima merasa inilah budi terindah dan kemudian harus menanggung hutang tak kesudahan. Siang malam setiap waktu dan pembicaraan ia merasa harus menyampaikan kebaikan itu dan memuji-muji si baik hati sang pemberi. Simpanan di Bank Budi -meminjam istilah Paolo Choelho dalam novel The Zahir sebagai metafor perlakuan bajik yang dilakukan seorang- menjadi sebegitu berartinya apabila perlakuan itu datang dari orang asing, ataupun kawan baik dekat ataupun tidak yang tak ada kadar famili sedikitpun. Begitulah manusia sering terjebak dalam penghargaan instan. Seperti anak kecil ketika diminta memilih kanan atau kiri, jawabnya, “kiri”. Jika dibalik kiri atau kanan, jawabnya, “kanan,” suatu yang datang belakangan menjadi lebih indah dari sejarah.
Sejarah adalah induk, awal keberadaan yang menyimpan beribu tapak baik yang indah maupun yang retak dari ketiadaan menuju zaman paling akhir dari kehidupan yang dijalani. Sejarah adalah ibu, yang sering dikhianati penghargaan dan berakrab dengan kelupaan. Ibu adalah keajegan yang tiap waktunya tak henti menyuguhkan kerinduan paling dalam bagi hidup seseorang, namun ialah yang pertama kali ditinggalkan ingatan seseorang. Secangkir kopi yang diseruput tiap pagi akan hilang makna cangkirnya pada pagi kesekian dalam hitungan jari.
Begitulah adanya budi, ia akan meninggalkan si pembudi. Dan bank budi, tak lain adalah ketiadaan.
Begitu berkhianatkah sejarah? Begitu meranakah Ibu?
“Ah, kok jadi serius gini ya?”
“Ya, karena ini memang tema serius, ini masalah jati diri, masalah harga diri, masalah penghormatan, masalah yang, ah, pokoknya gitu lah!”
“Tapi kan bisa disederhanakan?”
“bias,”
***
Sastra pesantren adalah usaha menghargai diri sendiri. Bukan narsis negatif, tetapi gerakan menuju kesadaran, bahwa penghargaan yang setinggi-tingginya patut diberikan kepada sesuatu yang paling dekat dengan kita tapi juga sering kita lupakan, yaitu ibu kita, induk kita: pesantren. Tentu saja lewat sastra.
“Kenapa harus –seolah- narsis begitu?”
Pernah mendengar ironi tempe? Kalau belum beginilah ceritanya, suatu ketika orang udik berangkat ke Jepang untuk menjadi TKI dan betapa tercengangnya ia ketika iseng-iseng bikin tempe secara manual dan dipasarkan dari pintu ke pintu. Ia pun ditangkap gara-gara melanggar hak cipta. Ah, ia belum tahu ternyata tempe sudah di patenkan di Jepang.
Cerita kedua, tentu sudah pernah mendengar, baru-baru saja, ketika rakyat Jawa Timur khususnya Ponorogo yang tergabung dalam Ikatan Seniman Reog Indonesia, merangsek ke pusat ibu kota gara-gara merasa kecurian keseniannya diambil aku oleh bangsa Malaysia. Tercengang bukan? Tiba-tiba kita asing atau diasingkan dengan diri sendiri?
Itulah mengapa, kenapa dalam menghargai pesantren dan kebudayaan yang ditimbulkannya oleh orang-orang pesantren sendiri menjadi keharusan yang tak bisa ditawar lagi.
“Lalu kenapa harus sastra?” Karena sastra memanglah dahsyat. Cukup dengan puisi sederhana yang bercerita tentang buah apel di negeri Amerika Latin, masyarakat segera tersulut semangatnya dan … REVOLUSI! Gulinglah rezim otoriter berkuasalah rakyat yang memang paling berhak atas tanah dan airnya. Dengan puisi-puisi dahsyat Iqbal, membentuk konsep negara republik Pakistan secara revolusioner. Tengoklah Lu Shun, yang dengan cerpen-cerpennya menjadikan perubahan di negeri China pada masanya. Dan masih banyak lagi. Dan masih banyak lagi.
Masih bertanya kenapa sastra? Tengok kitab kuning, berapa ratus kitab ditulis dengan bahasa seindah nadzam, syiir, suluk, mantra, hizib, dan tentu saja shalawat. Semua menjadikan ilmu mudah diserap dicercap dilahap. Dan terakhir, cobalah baca al-Quran keras-keras, betapa indah luar biasa bahasa yang digunakan. Sastrawy!
“Cukup,” Memanglah cukup kecuali bagi yang bebal. Semoga kita sekalian tidak termasuk di dalamnya.
Akhirnya, singkirkan komentar miring tentang sastra pesantren dengan essay Gincu Merang Sastra Pesantren-nya Binhad Nur Rohmat di harian Suara karya tahun lalu, atau pesimistis Ahda Imran, atau bahkan Gus kita, Kang Acep Zam-Zam Noor, yang malu-malu kucing menganggap Satra pesantren tak perlu dilabelkan atau digenrekan. Salut dengan Kang Alwy (panggilan mesra sastrawan dari cirebon Subanuddin Alwy) yang keukeuh menghendaki agar sastra santri atau sastra pesantren bisa menjadi sebuah genre atau fakultas tersendiri dalam kesusastraan Indonesia.
Saatnya bergerak, Nurul Ummah, cintai ibu kita, pesantren kita, jangan biarkan tahun demi tahun dihinggapi kemunduran kreatifitas. Salut buat santri-santri pelajar yang giat bersastra, juga anak-anak MANU dan MtsNU yang telah menerbitkan buku Dalam Cinta dan Purnama Buat Lena. Bersastralah, dan tentu tetap terus membaca. Tanpa penggalian ilmu-ilmu unggul khas pesantren yang adiluhung, maka apresiasi sastra yang sedang bergerak akan terjebak dalam keadaan tanpa gizi. Tetaplah berkualitas gizi baik dan rasa karya sastra kita akan menjadi menarik karena bergizi? Begitulah seharusnya karya sastra pesantren; memiliki rasanya sendiri, rasa Ibu. (Lahal-faatihah)
*) Zaki Zarung pegiat sastra pesantren.
Posting Komentar