Dalam
Suro Di Manggung
Malam satu suro. Malam yang sakral. Warga kampung baru saja kumpul kenduren dan membawa pulang ketan yang dibungkus daun jati. Aku datang jam tujuh malam tepat. Menuruni batu dan menyeberang sungai dengan gemericik air. Anak-anak sudah menungguku. Sengaja aku tidak masuk musholla dulu. Aku intip anak-anak dari sela-sela lubang geribig bambu. Musholla terletak di lembah Ngelo, yang dikelilingi oleh bukit. Sebelah barat Musholla ada batu besar, sebelah Timur ada semak-semak pohon bambu, sebelah Selatan ada sawah menghampar, dan sebelah Utara ada bukit terjal. Senyum sumringah nampak dari wajah anak-anak gunung. ‘Pripun kabare mas, kok lama nggak kesini?”, kata mereka saat aku bertemu.
Suro Di Manggung
Malam satu suro. Malam yang sakral. Warga kampung baru saja kumpul kenduren dan membawa pulang ketan yang dibungkus daun jati. Aku datang jam tujuh malam tepat. Menuruni batu dan menyeberang sungai dengan gemericik air. Anak-anak sudah menungguku. Sengaja aku tidak masuk musholla dulu. Aku intip anak-anak dari sela-sela lubang geribig bambu. Musholla terletak di lembah Ngelo, yang dikelilingi oleh bukit. Sebelah barat Musholla ada batu besar, sebelah Timur ada semak-semak pohon bambu, sebelah Selatan ada sawah menghampar, dan sebelah Utara ada bukit terjal. Senyum sumringah nampak dari wajah anak-anak gunung. ‘Pripun kabare mas, kok lama nggak kesini?”, kata mereka saat aku bertemu.
Malam itu, empat anak tidur di musholla. Sayup-sayup terdengar klenengan gamelan laras slendro mengalun indah dari puncak bukit. Alunan musik etnik Jawa bercampur dengan desis angin khas pegunungan. Suara sinden menggema terpantul dari kanan-kiri bukit, seolah-olah ada nyanyian dari langit.
Sementara jiwa seniku penasaran. Kepada warga yang kebetulan lewat di depan musholla aku bertanya. Siapa gerangan orang yang malam-malam memutar kaset tembang Jawa. Dengan sangat ramah ia menjawab, itu bukan kaset, tapi memang sedang ada klenengen di rumah pak RT menyambut satu suro. Aku tak percaya. Klenengan itu mirip sekali seperti yang biasa aku dengarkan di radio.
Kucari suara itu. Lampu 1.5 volt sudah ada di tangan. Bebatuan curam dan jalan becek menemani langkah demi langkah. Tak berani ku menengok kanan kiri. Jurang yang dalam siap melahap apabila aku terpeleset sedikit saja. Bunyi gesekan bambu seolah-olah menyambutku, membuat bulu kudukku berdiri. Kucoba matikan lampu senter. Tak ada benda yang tampak. Semua jadi gelap gulita. Hanya remang-remang lampu pijar terlihat dari atas sana.
Assalamu’alaikum. Wa’alaikum Salam. Mas Andi, monggo masuk. Rumah Pak RT berbentuk Limasan. Ornamen khas Jawa masih nampak dari ukuran-ukiran kayu. Terlihat lambang bumi dikelilingi sembilan bintang Nahdlatul Ulama. Ruang tamu yang juga tempat menabuh gamelan hanya diterangi lampu 10 watt. Aku duduk di depan saron. Sementara di belakangku ada orang tua penabuh gong. Aku disodori buku kusam berisi not lagu Asmarandana. Seperti biasanya, teh hangat dan bakwan jagung disuguhkan. Sinden nyanyi lewat mic. Ku tirukan ketukan saron dengan melirik penabuh sebelah kiri. Plak-blung, ning-nong, tung-tung, saling bersahutan.
Lagu Jawa memang enak didengar. Not gamelan memang beda dengan musik barat. Dalam pikiranku, terbayang suasana zaman Majapahit atau Mataram kuno. Ketika adat istiadat masih dipegang teguh. Ketika belum banyak mobil berseliweran di tengah kota. Pikiranku terus mengembara. Aku jadi gumun cara masuknya Islam ke tanah Jawa. Kok bisa ya, ajaran Nabi yang turun di Arab bisa sampai ke puncak bukit Manggung. Padahal dari Arab ke Jawa harus nyabrang laut. Mungkin, di hati para penyebar agama Islam ada semangat hijrah dalam menyebarkan agama. Hijrah bukan berarti pindah dari Makkah ke Madinah semata, tapi punya makna yang sangat luas. Lagu demi lagu silih berganti. Sementara mata ini sudah hampir terpejam. Tak terasa waktu sudah jam setengah tiga pagi.
Pulangnya aku ditemani Pak Tris menuruni bukit dengan membawa obor dari untaian bambu. Tengah malam sudah lewat, tapi masih saja ada orang tirakatan, tidak tidur pada malam satu suro. Sesampai di posko yang terletak di pinggir sawah, aku langsung berbaring. Kucoba pejamkan mata, tapi tak bisa. Kuambil air wudhu dari padasan depan rumah, kemudian shalat subuh di musholla. Karena begitu ngantuknya, ku tertidur di tempat imam. Tanpa disangka-sangka dari mana asalnya, suara aneh berbisik memasuki telingaku. Seperti suara, tapi bukan suara. Seolah-olah keanehan itu berkata: “Mau apa kau kesini?”.
Aku terbangun. Sinar matahari muncul di balik pohon bambu. Anak-anak mulai berdatangan, mau mengikuti Festival Anak Shaleh LP2M Nurul Ummah. (Kiai_Poleng)
0 komentar:
Posting Komentar