Oleh : Hikmatul Fitriyah*
“Yank, lagi ngapain?”, “kangen.., ma yayank…” Harus diakui, pesan singkat semacam ini atau panggilan yang lebih romantis nampaknya sudah tidak terlampau asing bin aneh lagi terbaca di banyak ponsel para santri (baca : kalangan pesantren).
Perkembangan
teknologi mampu menembus ruang dan waktu. Bagi manusia yang memang
fitrahnya memiliki rasa suka terhadap lawan jenisnya, teknologi
komunikasi mampu dengan cepat menyampaikan perasaan seseorang terhadap
pujaan hatinya. Dimulai dari sekedar say hello, perkenalan,
obrolan, keakraban, sampai muncul ikatan rasa di antara keduanya. Kode
etik pesantren yang melarang pertemuan disengaja atas nama perasaan
alias janjian, membuat komunikasi secara tidak langsung melalui HP, email, chatting, facebook, twitter dan sejenisnya begitu berarti bagi kebanyakan kita yang santri ini. Demikianlah, hari terasa hampa jika tak ada sapaan dari si dia. Sms, telfon, updating
status dan sebagainya, semua tertuju padanya. Perhatian dan aura
kemesraan yang melingkupi bahasa komunikasi membuat perasaan di hati
semakin tertanam. Sms-an atau telfon-telfonan berjam-jam, masih saja terasa kurang. Bahkan sampai -nuwun sewu,
lupa, ada maupun tidak ada orang lain yang ada di sekitar kita, sama
saja, ibarat dunia hanya milik berdua. Ungkapan rasa dalam bahasa penuh
mesra saat ini nampaknya memang dianggap “penting” bagi banyak orang
yang belum menikah ; laki-laki maupun perempuan, santri maupun bukan
santri, pelajar maupun mahasiswa, yang masih muda maupun yang sudah
melewati usia muda. “Ga romantis? ga asyik banget deh...”, demikian kira-kira adanya.
Beberapa
waktu lalu, ada pesan singkat yang masuk ke HP saya, isinya tentang
keprihatinan menyoroti sisi interaksi antara lawan jenis di lingkungan
Nurul Ummah, yang telah melenceng dari batasan-batasan syariat – paling
tidak dalam pandangan pengirim pesan-, yang beberapa kasusnya saya
utarakan di depan. Saya tidak ingin fokus pada pembahasan mengenai
status hukum syar’i dari aktivitas PDKT, pacaran dan sejenisnya lewat
media-media itu di sini, karena bukan kapasitas saya yang masih banyak
terinfeksi penyakit nifaq ini, masih banyak yang lebih mumpuni, ‘alim dan wira’i untuk membahasnya. Menurut zhann kuat saya, hati kecil kita bisa merasakan, mana perkara-perkara yang -nuwun sewu- marakke nyahwati. Hanya refleksi, introspeksi dan mencari sebuah paradigma yang menentramkan, demikian kira-kira maskud saya. Tidak ingin nggebyah uyah
alias generalisasi, sekiranya tulisan ini mengusik hati dan pikiran
teman-teman santri, silakan ditanggapi, lewat media ini kelihatannya
jauh lebih baik, agar khalayak umum bisa juga mengkonsumsi.
Ada dua hal yang muncul dalam benak saya saat ngangen-angen fenomena ini. Pertama,
tentang aspek kultural. Tradisi Nurul Ummah secara formal dalam
pandangan saya yang masih tergolong santri junior ini, sebenarnya
memiliki semangat untuk menjaga jarak antar lawan jenis. Dalam
forum-forum dialog bareng aja, santri putri dipandang “haram” bila urun pendapat secara langsung, “harus” lewat tulisan. Majelis khatmil qur’an yang menampakkan secara langsung khatimat di arena panggung utama -seperti yang terlaksana pada Juli lalu- pun menjadi bahan omongan, karena nulayani adate Nurul Ummah
selama ini. Namun, pada faktanya, lain di forum formal, lain di kamar,
lain di jalan, lain pula di kampus dan sekolah. Komunikasi intens dan
penuh rasa dengan lawan jenis, bisa dilakukan lewat banyak media. Dan,
mungkin beberapa dari kita sudah tidak begitu rikuh lagi bila
kontak rasa itu diketahui, dilihat dan didengar oleh orang-orang di
sekitar kita. Dari sini, saya pribadi menangkap adanya kontradiksi
–dalam kadar seminimal apapun- antara semangat yang terbawa dalam forum
formal pesantren dengan sisi kehidupan santri yang lebih luas.
Kedua,
mengenai aspek legal formal. Sebagai santri yang pernah terjun langsung
dalam dunia keamanan pondok, saya belum menemukan aturan baku mengenai
batasan-batasan kontak rasa via media komunikasi. Paling tidak, menurut
saya, ini menjadi salah satu faktor yang membuat kita merasa memiliki
banyak celah interaksi. “ga boleh janjian berdua, tapi nek
telpon-telponan lama, ngobrol kemana-mana –dengan bahasa mesra pun-, tak
masalah, bukan? Wong ga bakal ditakzir to?”.
Minimal dua hal itu yang terfikir oleh saya. Tidak menjadi problem bila tulisan ini membuat teman-teman memandang saya terlalu saklek alias kaku, kolot, fundamentalis, ekstrimis dan diberi label “ga gaul banget, kaya’ ga pernah muda aja sih, orang ini!” Mungkin muncul apologi defensif pula, semisal ”Jadi penyemangat belajar dan ibadah kok, si dia tuch..”. Yach, kembali, saya hanya bermaksud memaparkan beberapa fakta yang ada di tengah-tengah kita. Tidak menutup kemungkinan, di masa lalu ataupun suatu saat nanti, saya bahkan tidak jauh keadaannya dari fakta yang demikian, karena dalam hidup ini, sangat mungkin terjadi perputaran.
Saya
serahkan pada pembaca, apakah fenomena ini merupakan suatu kewajaran
yang tak perlu dirisaukan, karena menjadi bagian dari modernisasi,
bahkan banyak sisi positifnya? Atau sebaliknya, memang dirasa menjadi
“sedikit” masalah bagi kestabilan dan nasib Nurma di masa depan,
lantas bagaimana cara menyikapinya dengan bijak? Kira-kira, kegiatan
produktif apa yang perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya di
lingkungan Nurma, hingga mampu memberikan antusiasme yang tinggi,
menyamai bahkan melebihi semangat saat dzikiran bil-HP alias sms-an dengan si dia? Sempat terfikir pula dalam benak saya, perlukah diadakan forum yang membahas kode etik ala Nurma mengenai pelaksanaan ta’aruf
atau perkenalan menuju jenjang pernikahan, karena di tengah-tengah
kita, masih ada sosok-sosok yang telah menikah dan berhati-hati untuk
masalah ini?
Wusana kalam, perasaan yang membuncah terhadap sang
pujaan hati mungkin memang sangat sulit dihilangkan. Setiap kali
namanya tersebut dalam gosip yang telah membudaya di sudut-sudut kamar,
membuat si dia makin tak terlupa. Namun demikian, harapan pribadi
saya, paparan yang apa adanya ini bisa menjadi pertimbangan bagi semua
santri maupun pengurus, dalam kapasitasnya masing-masing, demi masa
depan Nurma kita. Jika demikian adanya, perlu kita bertanya, apakah kita
tetap mau maju menyalurkan rasa, dengan cara bagaimana, mengingat kita
adalah santri? Ataukah ada pertimbangan tertentu, sehingga kita justru
memilih untuk mundur secara teratur dan perlahan? Karena, Life is choise! Hidup adalah pilihan, Kawan! Wallahu A’lam
*Penulis, santri PP Nurul Ummah Putri
1 komentar:
Selamat Ulang Tahun Korma
ya begitulah, tinggal bagaimana dilestarikan, dan kerjasama semua pihak untuk nguri-nguri apa yang sudah ada. Perjuangan terus perlu diupayakan. jangan sampai mandeg di jalan. Regenerasi yang istiqomah kuncinya. dan jangan pernah ada kata menyerah apalagi mutung ditengah jalan karena ada cobaan. cobaan itu adalah tantangan yang harus di selesaikan sebijak mungkin agar kualitas korma dan krunya tetap terjaga. selamat ekses korma. Jangan lupa tanggal 10 Januari ini ulang tahun korma ke 3 tahunnya...
Posting Komentar