Membuat Cerita Pendek.



Pada umumnya, orang beranggapan bahwa membuat cerita pendek cukup dengan duduk merenung dan menunggu datangnya sebuah inspirasi atau ide. Pendapat ini, tentu saja, tidak benar. Membuat cerita pendek, sebagaimana halnya menciptakan sebuah lukisan atau melakukan pentas drama, memerlukan pengetahuan dan ketekunan tersendiri.
Pengetahuan dasar inilah yang akan diperkenalkan dan sekaligus diterapkan penggunaannya.
1. Cerita
Cerita lahir dari sebuah persoalan/permasalahan/konflik. Tanpa persoalan/ konflik, tak akan pernah terjadi sebuah cerita. Bagaimana menciptakan konflik?
Di dalam menciptakan konflik, kita bisa meminjam teknik “brainstorming”. Teknik ini biasanya digunakan oleh para praktisi periklanan dalam menggali ide. Caranya, antara lain dengan “bermain dengan kata”.
Contoh. Apabila kita mendengar kata “mencintai”, apa yang segera terbayang di benak kita. Begitu pula apabila kita mendengar kata ”benci”, “muak”, “kangen” dan seterusnya. Semua gambaran yang ada dari setiap kata yang kita dengar, kita tuliskan.
Teknik ini sangat bermanfaat untuk melatih kepekaan calon penulis di dalam “mencerap” segala sesuatu yang ada di sekelilingnya; tidak hanya kata atau bunyi-bunyian.
Langkah selanjutnya dari teknik brainstorming ini adalah dengan mempertentangkan sebuah ungkapan, kalimat, atau apa saja yang sudah terbiasa kita temui, dengan ungkapan, kalimat atau apa saja yang memiliki perbedaan makna sebesar 180 derajat. Misalnya: “aku cinta padanya”, dipertentangkan dengan “aku benci dia.”
Pertentangan ini akan menimbulkan gambaran yang berbeda di benak si calon penulis dan karenanya akan merangsang imajinasinya untuk bekerja lebih giat lagi.
Teknik ini bisa juga dikembangkan dengan menggunakan pertanyaan, atau pengandaian yang tidak atau kurang lazim. Misalnya: “apa yang akan kamu lakukan bila kepalamu ada dua.” Atau, bisa juga dengan ungkapan “seandainya aku tidak bia mati,” dsb.
Kalimat atau pernyataan serta pengandaian yang tidak lazim ini memang dibuat sedemikian rupa aneh dan konyolnya, semata-mata dimaksudkan agar pikiran kita lebih terbuka. Terkadang, pikiran kita yang sudah terkungkung oleh pengetahuan dan bacaan ilmiah, menjadi “pembantai” utama ide-ide/ pemikiran yang irasional milik kita sendiri. Dan sering kali pula, ketika kita akan menuliskan sesuatu, otak kita sudah menjadi “algojo” yang memangkas habis ide yang kita anggap konyol dan tak masuk akal itu. Dengan mencoba mempertanyakan sesuatu yang tampaknya irasional dan tidak masuk akal tersebut, otak kita akan “dipaksa” untuk mencari jawaban dari sebuah lembah antah berantah. Dari sinilah ide-ide itu akan bermunculan dengan suburnya.
Inilah yang sebenarnya harus dikembangkan dan dibiasakan penggunaannya, agar kita dengan “mudah” menemukan ide. Tentu saja, di samping teknik ini, seorang calon penulis cerita harus juga dibekali bacaan yang sangat banyak. Dengan bacaannya, ditambah “kenakalan” penalarannya yang seakan tanpa batas itu, diharapkan ada semacam “sintesa”. Inilah pijakan awal seorang penulis. Apabila ini dikembangkan lagi, pijakan awal ini bisa merupakan sebuah “visi” seorang pengarang.
2. Deskripsi
Tak satu pun penulis yang bisa melewatkan deskripsi. Deskripsi merupakan cara jitu di dalam “melukiskan” ide si pengarang ke dalam benak pembacanya. Deskripsi memiliki tahapan tertentu. Pada mulanya, seorang penulis bisa saja menggambarkan ruang, seseorang, atau suasana dengan menuliskan apa yang di-inderanya tanpa melibatkan emosinya sama sekali. Dia bisa menuliskan ada sebuah meja tua terbuat dari kayu mahoni yang kira-kira berumur 200 tahun. Warnanya hitam. Berukuran sekian, kali sekian, kali sekian.
Akan tetapi, seorang penulis yang sudah lebih berpengalaman akan bisa melukiskan meja antik tersebut dengan menggunakan pengetahuan emosinalnya. Dia bisa menggunakan perbandingan dengan ukiran Jepara yang terkenal, sebagaimana penjelasan Kartini kepada Ny. Abendanon tentang kotak kecil buatan seorang tukang kayu Jepara, misalnya. Dengan deskripsi semacam ini, seorang pembaca tidak hanya disuguhi sosok fisik yang dideskripsikan seorang penulis, akan tetapi sekaligus diceburkan ke dalam lautan persoalan yang terdapat di dalam sebuah meja antik tersebut. Pembaca akan diperkaya, dan dengan demikian diharapkan akan memiliki persepsi yang lebih baik.
Deskripsi tidak hanya ditampilkan dalam bentuk uraian narasi, tetapi juga bisa muncul dalam bentuk dialog atau pembicaraan tokoh dengan tokoh lainnya. Lewat dialog para tokohnya, kita bisa memahami atau mendapatkan gambaran apa, siapa, dan bagaimana, baik si tokoh, lawan bicaranya atau situasi yang melatari sebuah peristiwa tersebut. Karenanya, sebuah dialog, hendaknya merupakan hal yang patut diperhatikan dengan lebih cermat; pilihan kata, kelazimannya dan sebagainya, hendaknya masuk dalam pertimbangan seorang penulis.
3. Bahasa
Cerpen adalah sebuah ekspresi personal. Cerpen adalah sebuah cerita dan karenanya berbeda dari berita. Karena cerpen adalah sebuah ekspresi personal, maka bahasa yang digunakan hendaknya sesuatu yang memang personal, unik, kaya akan dialek dan idiolek. Dengan sendirinya, sebuah cerpen yang menggunakan bahasa “bombastis” atau ungkapan-ungkapan yang berbau slogan, akan terasa janggal atau bisa dikatakan gagal sebagai sebuah cerita. Sebaliknya, cerpen yang sarat akan ungkapan-ungkapan yang “membumi” atau akrab dengan pembacanya, terasa lebih hidup, bernafas dan berdarah-daging bagi pembacanya.
Selain itu, cerpen sangat membutuhkan bahasa yang konotatif. Dengan bahasa, ungkapan, yang konotatif sebuah cerita akan bisa memberi ruang penafsiran yang cukup bagi pembacanya. Di sinilah sebenarnya kekuatan sebuah fiksi. Dengan bahasa yang konotatif, pembaca akan dibawa ke suatu wilayah “serba mungkin” dan akan terangsang untuk terus memberikan penafsiran-penafsiran.
4. Penyajian
Sebuah cerita, bisa saja disajikan secara berurutan, sejak awalan, tengahan dan akhiran. Akan tetapi, bisa juga menggunakan teknik yang dinamakan in medias res. Teknik ini biasanya digunakan untuk “mengikat” si pembaca agar mengikuti cerita sampai habis, dengan cara “memasukkan” pembaca ke tengah persoalan, justru ketika dia mulai membaca sebuah cerita.
Teknik penyajian bisa juga menggunakan pilihan sudut pandang, baik “aku-an” maupun “dia-an”. Sebuah bahan cerita yang sama, apabila diungkapkan dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda akan memiliki kesan yang berbeda. Pilihan ini, sepenuhnya harus dipertimbangkan oleh seorang penulis, manakala dia ingin mengungkapkan karyanya.
5. Acuan
Banyak yang menyangka bahwa hanya tulisan ilmiah atau non-fiksi sajalah yang membutuhkan acuan. Pendapat ini kurang tepat. Semua tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi, memerlukan acuan.
Seorang penulis cerpen yang baik, akan selalu mencari sumber-sumber yang bisa digunakan sebagai bahan ceritanya. Apabila dia hendak menuliskan kisah sejarah, maka dia wajib mencari tahu semua hal yang berkaitan dengan tulisannya. Apabila hendak melukiskan suatu etnis tertentu, maka dia pun perlu mencari tahu berbagai informasi penting yang berkaitan dengan etnis tersebut. Dengan sumber yang kuat, cerpen yang ditulis oleh si pengarang tersebut akan terasa memiliki “nilai lebih” karena dia bisa dengan lebih luwes dalam mengekspresikan tulisannya. Semakin banyak sumber yang diperolehnya, semakian kuat pula cerita yang diciptakannya. Namun, perlu diingat bahwa sebuah cerpen bukan pertama-tama dan terutama dinilai dari fakta yang disajikannya. Bagaimana imajinasi dan persepsi pengarang akan fakta itulah titik tumpuannya. Itulah yang membedakan, misalnya, antara Ahmad Tohari dengan Edy D. Iskandar, atau NH Dini dengan La Rose; tulisan yang satu terasa lebih “berakar” daripada yang lainnya.
Perlu ditambahkan di sini bahwa ada beberapa teknik yang menggunakan acuan–baik sejarah, tokoh legendaris, kebudayaan etnis tertentu–yang biasanya digunakan oleh seorang pengarang. Teknik tersebut–di antaranya, adalah: alusi dan anakronisme.
Alusi adalah teknik penokohan yang meminjam sifat, sosok, perilaku dari tokoh lain yang telah diketahui oleh masyarakat luas (meskipun “luas” di sini hanya melingkupi kelompok/ etnis tertentu). Misalnya, Parijan merasa dirinya adalah Bratasena dalam Bale Segala-gala. Di sini, Parijan dibandingkan atau disetarakan dengan tokoh pewayangan Bratasena, yang dalam cerita Bale Segala-gala diceritakan melompati kurungan api sambil menggendong keempat saudaranya.
Teknik alusi bisa lebih efektif di dalam penokohan atau pelukisan situasi, latar dan peristiwa. Meskipun teknik ini memiliki kelemahan, karena tidak setiap orang bisa segera memahami sesuatu yang diacu di dalam tulisan tersebut, seorang pengarang sebaiknya melatih diri dalam menggunakannya.
Anakronisme biasanya digunakan untuk menampilkan satu tokoh, seolah-olah tokoh tersebut sezaman dengan tokoh yang diacunya. Misalnya, di dalam Hikayat Hangtuah, disebutkan dia bertemu dan berperang melawan Patih Gajah Mada. Berdasarkan sejarah, antara Gajah Mada dan Hangtuah hidup di abad yang berbeda. Akan tetapi, untuk menghidupkan dan memberikan kesan betapa hebatnya Hang Tuah, si penulis mengaitkannya dengan tokoh Gajah Mada; yang sudah terkenal kehebatannya.
Penutup.
Demikianlah pengantar ringkas pembuatan cerita ini saya berikan. Semoga, apa yang tertulis di sini bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana dan langkah apa yang harus ditempuh oleh seorang pengarang cerita pendek. Tentu saja, ini bukanlah satu-satunya cara. Masih beragam cara dilakukan orang di dalam mencipta.
Yang terpenting, janganlah menganggap tulisan ini sebagai “rumus”. Ini hanya catatan kecil penulis yang dikumpulkannya sesuai dengan pengalamannya semata.
Selamat memulai menulis.
referensi : Yanusa Nugroho

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger