opini

ANTARA KOPI VS PESANTREN….???
Oleh: Yuliana PP*

KOPI adalah sejenis minuman yang banyak digemari orang tak terkecuali yang bermukim di pesantren yang lebih dikenal dengan sebutan “SANTRI”. Lalu, apa hubungan antara minuman ini dengan pesantren? Inilah yang ingin disampaikan penulis dalam goresan tinta ini berkaitan dengan tulisan yang dimuat dalam KORMA edisi Selasa, 29 Januari 2008.

Adalah kopi, sejenis minuman yang menjadi minuman favorit beberapa santri (menurut para santri tentunya). Dalam hal ini beberapa santri mengungkapkan bahwa minuman ini memiliki ciri khas yang sangat berbeda dari minuman yang lain. Minuman ini disinyalir bisa mengusir kantuk yang menyerang mata kemudian rasa kantuk itu disampaikan oleh saraf manusia dan akhirnya dicerna oleh otak, sehingga otak pun berpikir bahwasanya mata mengalami rasa ngantuk. Menurut beberapa santri keadaan seperti ini sangat menguntungkan karena dengan alasan kantuk yang menyerang mereka bisa mencari alasan untuk meninggalkan kegiatan yang diadakan di pesantren (baca Nurma). Akan tetapi, beberapa santri justru merasa “sangat” merugi ketika kantuk mulai menyerangnya dengan alasan “sayang” untuk meninggalkan kegiatan yang diadakan di Nurma. Kelompok santri yang kedua ini biasanya mengkonsumsi kopi untuk mengusir rasa kantuk sebagai upaya untuk memaksa mata menjadi melek sehingga aktivitasnya tidak terganggu.

So, adakah benang merah antara nikmatnya minum kopi dengan “betahnya” tinggal di pesantren dalam jangka waktu yang relatif lama? Mari kita sejenak merenung bersama. Bila dicermati dengan seksama rupanya kopi menurut sebagian santri memiliki rasa lezat yang sulit diungkapkan. Mungkin rasa yang seperti inilah yang dijadikan benang merah antara rasa kopi yang khas dengan susahnya hidup di pesantren yang –ternyata- tetap banyak yang betah di sana. Namun demikian hendaknya opini semacam ini perlu ditinjau ulang. Mengapa? Menurut beberapa santri, sebut saja Astuti santri asal kota marmer menuturkan bahwa santri lama (baca: betah) tinggal di pesantren karena merasa membutuhkan ilmu yang diajarkan di pesantren. Berbeda dari alasan sebelumnya menurut Imah santri asal kota yang memilki bedug terbesar di dunia menuturkan bahwa santri yang lama tinggal di pesantren karena merasa butuh adanya kontrol diri, hal ini diwujudkan dalam ketaan mematuhi peraturan yang ditetapkan di pesantren sebagai sarana untuk berlatih ketika terjun di masyarakat. Menurut penulis sendiri, santri yang lama tinggal di pesantren adakalanya mempunyai tujuan untuk mengabdi kepada pesantren. Di samping itu ada juga santri yang lama di pesantren dari sisi psikologis merasa belum siap untuk pulang ke rumah, hal ini dituturkan oleh Isah santri asal Jaim (jalan Imogiri) kota Bantul. Selain itu ada pula yang merasakan lebih enjoy tinggal di pesantren dari pada tinggal di rumah. So…menurut hemat penulis tidak selayaknya kita memandang suatu realitas hanya dari satu sisi, dengan memandang kehidupan di pesantren adalah kehidupan yang penuh dengan aturan dan larangan yang mengekang. Betapa sempitnya wacana yang dimiliki jikalau seseorang hanya melihat suatu hal dari satu sisi saja. Bukankah keragaman itu membuat keindahan, seperti halnya pelangi yang bermacam-macam warnanya nampak lebih indah dari pada langit yang hanya berwarna hitam kelam?

Alangkah indahnya dunia dalam keragaman. Mungkin hal inilah yang perlu kita cermati dalam firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa da bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. Dengan mengaplikasikan firman Allah dalam ayat tersebut setidaknya setiap santri di Nurma mampu membaca suatu realitas dari berbagai sisi dan karakter yang ada tanpa harus membuat suatu keseragaman dalam memandang suatu persoalan. Untuk itu penulis menghimbau kepada kawan-kawan santri Nurma untuk membaca sasmita-sasmita-Nya dalam setiap aturan yang terdapat dalam Nurma sebagai wujud pengamalan kita terhadap kalam-Nya, sehingga kita tidak memandang dari sisi negatif saja pada person-person yang menjadi obyek pembicaraan dalam tulisan ini (baca: santri yang betah lama di pesantren). Sebagai akhir kata penulis sangat berharap sumbangsih para santri kepada Nurma. Jangan Tanya apa yang sudah diberikan Nurma kepada anda, tetapi tanyalah diri anda apa yang sudah anda berikan kepada Nurma? Mari kita berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik bagi Nurma. Mari mengukir prasasti yang indah dengan tinta emas untuk Nurma sebelum meninggalkan Nurma. Wallahu a’lam. *) Santri Nurma pembaca setia KORMA

* Santri Nurma pembaca setia KORMA

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger