Opini

SEBUAH TEMBANG KEABADIAN
Mangayubagya 7 Dina Koran Nurma

Oleh Mahbub Jamaludin

Al-‘ilmu shoid wa al-kitabah qayyiduhu. Kata-kata itu meluncur lembut namun tegas dari lisan seorang pemuda yang tiada tertandingi sepanjang sejarah Islam. Ia, yang sejak remaja telah mengikrarkan keimanan; ia yang dibesarkan oleh buaian kenabian. Ya, ialah Ali; tokoh besar yang pernah digilas gilanya sejarah. Ia dipuja-puja, juga dicaci-maki. Ia sempat dihina-dinakan. Turunannya dibantai. Partainya digembosi. Dan namanya hampir hancur oleh gilasan sepatu kekuasaan.

Pada masa kejayaan Umayyah berikut wadya-balanya, nama Ali seolah-olah tenggelam. Orang-orang bahkan sungkan meriwayatkan hadits darinya, atau sekedar bercerita tentangnya, atau sekedar menyebut namanya. Karena, siapa saja yang berani berbuat seperti itu, berani mengangkat namanya di pusat-pusat perbincangan, berani mengagung-agungkan dirinya, ia akan dituntut oleh suatu tuduhan: subversif. Mungkin, sama seperti orang Indonesia yang takut dan segan menyebutkan nama ‘PKI’ pada masa orde baru.

Untunglah sunnatullah tidak bisa dilawan. La tabdiila! Tak bisa diganti oleh kesombongan manusia. Sejarah kemudian membuktikan, bahwa kecemerlangan seseorang tidak bisa ditutup-tutupi. Beberapa puluh tahun kemudian, sesudah nama Ali bahkan hampir tidak diakui sebagai salah satu khulafaur-rasyidin, khalayak pun kemudian insaf bahwa namanya pantas ditahbiskan sebagai seorang tokoh yang tiada tandingan. Perjalanan waktu menjadi saksi bahwa buah pikirannya lah yang abadi; sebaliknya, kekuasaan dan singgasana—yang menindasnya—tiada pernah abadi. Kekuasaan berganti seiring perubahan generasi; namun buah pikiran tak lekang oleh waktu dan ruang yang menjeruji.

Ketika saya memulai tulisan ini dengan kata-kata Ali, bukan berarti saya orang Syiah. Saya akui, pada tataran tertentu, saya memang mengagumi Syiah. Bacalah Nahjul-Balaghah; selamilah karya-karya ‘Allamah Thaba’thaba’i; tenggelamlah dalam samudra kata-kata Murtadha Muthahhari; berenanglah dalam pikiran-pikiran Ali Syari’ati. Engkau akan mendapatkan perpaduan ideal antara pikiran dan hati. Engkau akan menemukan sinkretisme antara filsafat dan sufi. Engkau akan mencicipi nikmatnya logika dan rasa. Dan yang lebih penting dari itu semua, tradisi kepenulisan mereka sungguh jauh melampaui tradisi menulis kaum Sunni. Oh, benarkah?
Saya tidak akan menjawabnya. Saya, di sini hanya ingin bergerundel—minimal, untuk diri saya sendiri. Betapa kita, para santri, terkadang lupa dengan dengan kata-kata yang begitu mengguncang itu: “al-ilmu shaid, wa al-kitabah qayyiduh: Ilmu bak binatang buruan, menulislah tali kekangnya!”

Mengapa Ali bicara begitu? Untuk menjawabnya, sederhana saja. Bukankah sunnah nabi; perilaku hidup uswatun hasanah kita, teladan-yang-tiada-cacat kita, juga ‘mengatakan’—lewat lakunya—kata-kata yang seperti itu? Bukankah setiap kali wahyu turun, nabi selalu memerintahkan shahabatnya untuk segera menuliskannya? Di lain waktu, ketika Islam semakin tersebar ke berbagai pelosok bumi, dan darah para syuhada menjadi tebusannya, Abu Bakar pun tergopoh-gopoh mengumpulkan para shahabat yang hapal al-Qur’an.

“Beribu-ribu hafidz telah syahid. Al-Qur’an harus segera dituliskan dalam satu jilidan!”
Di saat lain, ketika Islam telah menyebar ke penjuru arah, Utsman pun menelurkan proyek penggandaan al-Qur’an. “Satu Qur’an sebagai pedoman! Dan sebagai pedoman—yang abadi—ia harus tertuliskan.”
Maka bayangkanlah, bagaimana jika tali-tali kesombongan membelenggu kreativitas mereka untuk menuliskan al-Qur’an. Dapatkah al-Qur’an sampai pada kita? Dapatkah kita mencercap tetesan ilmu al-Qur’an tanpa mereguknya dari tali kekangnya yang berupa tulisan pada lembaran-lembaran mushaf?

Dan masih banyak lagi contoh tentang ‘binatang buruan’ dan ‘tali kekang’; tentang keabadian ilmu oleh sebab ‘ikatan’ tulisan. Telusurilah kodifikasi hadits; telitilah ilmu-ilmu agama, mulai dari fikih hingga tasawuf; renungkanlah tentang sejarah kehancuran peradaban Islam sesudah infansi Jengis Kan, sesudah buku-buku dibakar dan dijadikan jembatan sungai Jaldah. Tengoklah kemajuan negeri Barat setelah menguasai Andalus—yang sempat menjadi pusat ilmu dan peradaban Islam—pada perang Salib, berikut memboyong buku-buku hasil karya para cerdik-cendekianya. Lihatlah Cina, yang peradabannya begitu ‘ngawu-ngawu’, karena tulisan-tulisan Konfusius, Lao-Tse, dan lain-lain yang harus dipelajari oleh anak-anak setingkat SD, meski ‘hanya’ dengan menyalinnya ulang di buku mereka.

Mengapa menulis menjadi kekang terhadap ilmu? Saya bukan seorang ahli psikologi. Namun, kiranya dapat dipertimbangkan sebuah logika sederhana. Konon, pikiran kita memiliki sistem yang begitu handal dengan tiga proses yang harus selalu bergulir. Yaitu, menangkap, menyimpan, dan mengeluarkan kembali. Jika ketiganya lancar, maka memori kita menjadi lancar. Ketika pikiranmu menangkap, kemudian menyimpan, namun tidak dikeluarkan, maka memori-memori akan bertumpuk dan bertumpuk, hingga akhirnya busuk. Lain jika dikeluarkan, misalnya dengan diskusi atau dengan menulis—apapun itu; buku harian, coret-coret di komputer, novel, resensi, dan lain-lain—pikiran kita pun bekerja dengan sempurna. Pikiran seakan me-refresh, mengingat kembali memori-memori yang sudah lama tertumpuk di dasar-dasarnya. Sehingga tidak heran jika mereka yang senang berdiskusi ataupun senang menulis, relatif memiliki pengetahuan yang lebih daripada mereka yang ‘hanya’ gemar membaca.
Nah, dalam kaitannya dengan budaya menulis santri ini, saya sangat menyambut gembira lahirnya Koran Nurma. Dulu, sempat ada Assibaq; ada Tilawah; ada Mas-Cot. Meski kemudian terbitnya berkala, artinya: ‘kala-kala terbit dan kala-kala tidak’, itu tidak mengapa. Bahkan kemudian, ketika mereka semua pada akhirnya ‘mati suri’, itu tak masalah. Jika kemudian muncul sebuah koran harian seperti Korma, tentu akan lebih menantang bagi dunia kepenulisan pesantren—Nurul Ummah khususnya—untuk terus berkreasi, dan tentu saja, untuk mengabadi.
Yang patut kita renungkan adalah masalah ‘bagaimana agar korma tidak terbit berkala’ seperti para pendahulunya. Konon, sekali terbit, Korma membutuhkan dana 20.000,-. Jika terbit setiap hari, maka sebulan harus mengeluarkan dana minimal 600.000,-. Tentu bukan jumlah yang sedikit di saat perekonomian nasional sedang lesu. Dan konon, dana sebesar itu—sampai saat ini—masih ditanggung oleh saku seorang santri. Di sini, semua warga pesantren tentu perlu berkreasi untuk mencari solusinya. Agar ‘ia tidak terbit berkala’; agar ‘idealita yang dibawanya menjadi nyata’; agar ‘dunia kepenulisan santri Nurul Ummah semakin menggelora dan bergairah’. Bagaimana tidak? Nurul Ummah sudah membikin ‘iri’ pondok-pondok lain dalam hal ‘kemajuan menulis’. Sederhana saja, di Matapena, sebuah komunitas santri-novelis yang selama ini saya geluti, ‘orang-orang Nurul Ummah’ selalu menjadi mayoritas.
“Di mana Krapyak? Di mana Wahid Hasyim? Di mana…” begitu, suatu kali direktur LKiS berseloroh. “Wah, kalau begini aku nggak jadi mondokin anakku ke Krapyak nih!” guraunya.
Ya-ya. Begitulah kibaran ‘nama besar’ Nurul Ummah dalam kancah kepenulisan. Tentu masih banyak contoh kibaran lain di luar ‘novel’, yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Karena itu, yang layak kita pikirkan berkaitan dengan terbitnya Korma, sekali lagi, adalah bagaimana agar ia menjadi tembang yang abadi. Agar ia tidak jadi mati di satu sisi, dan di sisi lain agar ‘saluran’ santri dalam menulis; dalam menembus ‘keabadian’ ini juga tidak mati. Mungkin dengan melibatkan alumni, misalnya, kita minta mereka dana langganan per-bulan untuk Korma, dengan kompensasi dikirimi bundel Korma tiap bulannya. Toh mereka butuh juga info tentang almamater mereka tercinta? Di sini, tentu kualitas Korma perlu ditingkatkan. Meski begitu, jangan sampai ‘peningkatan kualitas’ itu menjadi beban. Biarlah santri menulis apa adanya, enjoy, sehingga sejelek apapun, itulah kreativitas mereka; itulah proses mereka…
Ya, sekarang Koran Nurma genap berusia tujuh hari. Selayaknya bayi, KorMa pun perlu mengadakan Aqiqah, pesta potong rambut pertama kalinya. Mungkin, untuk KorMa, tidak perlu diadakan pesta. Yang lebih perlu, kiranya adalah bagaimana ‘memotong’ ego kita masing-masing, melebur dan bersatu, bersama-sama memikirkan bagaimana masa depan Korma. Tentu, demi meniru sunnah nabi yang menuliskan wahyu demi menjadi abadi; tentu, demi kata-kata Ali, demi ‘mengikat’ sedikit ilmu yang kita miliki. Tentu, demi mewujudkan weling Almaghfurllah, “… agar nurul ummah benar-benar dapat jadi cahaya penerang bagi ummat.” Semoga.
Wallahu a’lam.

Tuesday, January 15, 2008
Malam yang panas
sepotong bintang berkedip sendirian

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger