OPINI- (Membongkar Sakralitas Kepengurusan)

Oleh: Ahmad Arif Widianto*

Seringkali pengurus berusaha mengingatkan tentang status dirinya. Di saat bercengkerama dengan santri, dalam suasana santai, kesempatan formal dan hubungan sehari-hari pengurus menekankan bahwa dirinya masih menjadi santri. Berkali –kali juga pengurus menyatakan bahwa keberadaannya adalah wujud kepanjangan tangan pengasuh.. Di sisi lain banyak bermunculan wacana mengenai status pengurus dalam sudut pandang yang berbeda.

Tidak terdapat keganjilan saat pandangan mengenai eksistensi pengurus dituangkan dalam pengertian di atas. Tetapi timbul tanda tanya besar seiring munculnya anggapan bahwa posisi kepengurusan merupakan ruang sakral yang terlindung dari intervensi santri. Sakralitas tersebut bersifat absolut, ekslusif dan prestisius. Saya tidak tahu darimana anggapan seperti itu muncul dan siapa pihak yang mengungkapkannya. Saya juga tidak akan menelusurinya karena takut terseret dalam mainstream yang tersesat tersebut. Saya khawatir keluguan saya teracuni pemikiran yang brutal. Namun kiranya perlu untuk meluruskan kembali pemahaman yang menyimpang tersebut dengan reintroduksi esensi kepengurusan.

Sebagai seorang lugu, saya memandang pengurus sebagai sosok yang patut dihormati, disegani dan dipatuhi segala kebijakannya . Tindakannya menyiratkan aura profetik dan berwibawa dengan perangai yang mengesankan disertai sikap berbudi yang menghiasi tingkah laku sehari-hari. Kesan dan citra pengurus yang impresif lainnya menambah keyakinan saya tentang kehormatan posisi pengurus. Ditambah lagi oleh konstruksi pemikiran yang lahir dari proses tumpang tindih antara pikiran dan doktrin yang merecoki kondisi batin selama ini.

Kepengurusan dalam pesantren mencerminkan profesionalitas dan modernitas dalam manajemen kehidupan instansi. Berbagai posisi tertata rapi disertai wewenang yang terkandung. Posisi tersebut dijalankan oleh individu yang mengemban tangggung jawab sesuai dengan proporsi yang diberikan. Wewenang diatur dalam klasifikasi dan kluster-kluster yang disepakati bersama. Setiap posisi dijalankan dengan prosedur, ruang lingkup dan orientasi yang ditetapkan. Kebijakan dan program yang dicanangkan juga ditujukan untuk kebahagiaan bersama dalam kehidupan pesantren. Sistem kepengurusan disusun secara hierarkis menurut berbagai komposisi jabatan yang dibutuhkan dalam pengelolaan pesantren.

Dalam konteks formal, kepengurusan adalah asosiasi yang diatur berdasarkan perintah ( Imperatively coordinated Association ), Tepatnya Asosiasi yang dikontrol sebuah hierarkis wewenang kedudukan. Kedudukan hanya berlaku dalam ruang lingkup terbatas dan tidak dapat dipaksakan untuk berkuasa dalam ranah lain. Karena setiap posisi sudah diatur dengan distribusi kekuasaan secara proporsional. Sehingga posisi dan peran hanya menjalankan fungsinya pada porsi dan haluan wewenang tertentu. Ralph Dahrendrof menyatakan bahwa Berbagai posisi dalam struktur memiliki jumlah otoritas yang berlainan, otoritas tidak terdapat pada individu, melainkan pada posisi. Oleh karena itu status pengurus merupakan sebuah peran yang menjalankan perintah untuk dilaksanakan sesuai dengan jalur dan harapan yang disandarkan.

Perbedaan wewenang dan kedudukan dalam kepengurusan menciptakan hubungan superordinat dan subordinat atau dalam istilah yang lebih halus lagi terkenal dengan sebutan hubungan patron-klien. Hubungan tersebut terpengaruh oleh budaya patrilineal dan patriakhis. Dalam kenyataannya, pengurus mempunyai wewenang yang lebih tinggi dibanding dengan pengurus yang menempati posisi bawahnya. Posisi di atas berhak mendapatkan otoritas lebih dari bawahnya karena legitimasi konsensus publik dan kesepakatan yuridis. Struktur kepengurusan kita telah menunjukkan hal tersebut dalam realitas kehidupan pesantren dimana kepungurusan disusun berdasarkan distribusi kekuasaan secara hierarkis. Posisi tertinggi ditampuk oleh yayasan, disusul oleh pengasuh, pimpinan pondok, dan jajaran pengurus lainnya. Sedangkan status terendah mengakomodasi golongan santri.

Posisi pengurus sebenarnya terlepas dari kondisi subyektif pengembannya. Peran yang dijalankan tidak mengacu pada kualitas psikologis dan intelektualitas individu. Konsepsi tentang kharisma yang sering dilekatkan pada status pengurus bukan menjadi causa prima dimandatkannya posisi tersebut pada individu. Bila beranggapan pengurus adalah pemimpin yang kharismatik, hal tersebut perlu dipertanyakan. Meminjam konsep kharisma dari Rudolf Sohm, Weber mengarakterisasi pemimpin yang mengangkat diri sendiri dan diikuti oleh mereka yang dirundung kesulitan berat dan butuh pemimpin kerena mereka mempercayainya punya kekuatan luar biasa. Bila mengacu pada pendapat Weber tersebut, tentu hal tersebut tidak menemui relevansinya dengan realitas kepengurusan. Karena kepengurusan sejatinya adalah sebuah rangkaian proses untuk memenuhi tuntutan dan harapan dari subyek yang memandatkan jabatan, Dalam hal ini adalah santri. Harapan tersebut dimandatkan padanya karena legitimasi dari pihak yang memiliki kekuasaan lebih dan yang lebih penting adalah kepercayaan tinggi yang diberikan Pelaksaanaannya juga harus sealur dengan prosedur dan tanggung jawab yang musti ditunaikan.

Dari sini kita mulai paham tentang esensi pengurus dan mengapa kepengurusan dibentuk. Lantas apa yang melatar belekangi dan mengapa pemahaman yang menyimpang tersebut muncul? Anggapan bahwa kepengurusan adalah ruang yang penuh sakralitas dan terproteksi dari intervensi santri hanyalah sebuah kebutaan eksistensi individu dan sosial. Ketidakpahaman tentang peran merasuki pikiran tersebut sehingga memantik kesimpulan yang Apriori. Landasan berpikir yang digunakan hanya muslihat dari obsesi untuk menguasai dan dikagumi. Mereka yang berpikiran seperti itu mengira bahwa posisi pengurus adalah “Wah” (elitis). Bisa juga hal itu muncul karena kebanggaan diri dan sikap narsis yang berlebihan. Sehingga status pengurus dipandang sebagai kedudukan prestisisus (Bargaining Position), Elitis dan memiliki kekuasaan yang lebih atas yang lain. Kebanggaan dan kepercayaan diri yang berlebihan tersebut mungkin terobsesi oleh pemimpin besar dunia seperti Napoleon, Julius Caesar, Calvin, Washington dan Rooseveelt yang namanya selalu menggaung di telinga pengagumnya.

Kesalahpahaman tentang kepengurusan tersebut jika dibiarkan akan berpengaruh pada kontinuitas kondisi ideal pesantren. Peran pengurus hanya dijalankan sesuai dengan kehendak individu dan kepentingan (kelompok) semu lainnya yang turut menumpang di antara selubung wewenang. Tendensi dan preferensi akan selalu menghiasi setiap kebijakan yang diputuskan tanpa melirik kondisi santri karena impulsif keyakinan bahwa pengurus merupakan entitas superordinat sedangkan santri hanya layak berada dalam kubangan subordinat. Keyakinan yang menyimpang di atas juga rentan terhadap sindrom hegemonitas yang meledak-ledak, menghancurkan tatanan solidaritas dan toleransi antar civitas pesantren.

Seyogyanya semua anggapan yang berlebihan tersebut tidak merasuki tubuh kepengurusan. Peran, status dan wewenang setiap posisi dalam kepengurusan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan kemurnian tujuan. Beragam kepentingan dan hasrat individu harus diasingkan dari orientasi kebahagiaan bersama seperti yang dikatakan Hanna Arrendt.. Status pengurus seharusnya tidak dipandang sebagai sebuah sakralitas yang absolut karena hakekatnya ia berasal dari harapan-harapan dan kepercayaan yang diberikan.

Setiap tindakan hendaknya didasarkan pada kaidah prosedural dan struktural agar pandangan-pandangan miring tentang pengurus dapat kembali lurus. Apabila hal itu tidak diupayakan, ketakutan akan stereotipe dan labeling negatif terhadap pengurus terkuak dimana-mana. Kondisi Chaos akan menghiasi kehidupan pesantren kita. Di samping itu ketidakstabilan sosial pesantren merebak, Memicu ketidakpatuhan santri (Civil Disobedience) yang rawan merongrong stabilitas pesantren. Tentu kita tidak ingin kekhawatiran tersebut terjadi pada pesantren kita. Karena saya yakin semua pasti menyayangi karikatur surga tersebut. Maka dari itu, selayaknya kita pulangkan kembali makna dan fungsi kepengurusan pada asalnya. Demi menjaga kebahagiaan bersama dan agar keharmonisan tetap menyelimuti kita. Semoga. Save our Nurul Ummah from the Dark Resistance! .

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
© KORAN NURMA | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger